Berakhirnya politik aliran yang mendasarkan diri pada pilihan ideologi tertentu tidak berarti masyarakat semakin rasional dan cerdas dalam menentukan pilihan politiknya. Dalam realitas Indonesia, masyarakat memilih didasarkan atas pragmatisme, berupa besarnya uang yang diberikan oleh calon legislatif.
“Calon anggota legislatif harus mengeluarkan uang, karena pemilih sudah tidak dapat alternatif ideologis, atau memperjuangkan ideologi yang sama sehingga, ya tawar menawar, kalau saya mencoblos anda, apa yang anda berikan kepada saya,” kata Sekjen PBNU Dr Endang Turmudi kepada NU Online, Kamis (28/5).<>
Rasionalitas yang dimiliki masyarakat saat ini adalah rasionalitas uang. Calon A memberikan uang lebih besar dari calon B, maka calon A yang dipilih. Namun ditandaskan, ini jelas bukan rasionalitas yang baik.
Penyebab lain yang mendorong masyarakat semakin pragmatis dikarenakan jumlah partai dan calon yang telalu banyak membuat masyarakat tidak tahu dan tidak mampu mengkritisi calon yang dipilih sendiri tidak kenal dan tidak tahu kualitasnya sehingga masyarakat memilih yang mendekati dan memberinya uang.
Endang menuturkan, kalau dilihat dari partisipasi politiknya, rakyat Indonesia sebenarnya belum berubah dari system parochial menjadi partisipan, meskipun sudah terdapat indikasi ke arah sana. Dari Dulu, sampai sekarang, kampanye partai X hanya diikuti simpatisan partai X, simpatisan ini tidak mau mendatangi kampanye partai lain.
“Dalam politik yang lebih matang, orang merasa bersih dari partai apapun dan ketika ada partai yang menawarkan programnya, ia mencoba memberikan pertimbangan. Sekarang kan kita belum sampai ke sana,” terangnya. (mkf)