Jember, NU.Online
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) meminta agar keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 643/MPP/Kep/9/2002 ditingkatkan menjadi Keputusan Presiden.
SK yang mengatur bahwa impor gula tidak dapat lagi dilakukan oleh importir umum diharapkan oleh petani tebu menjadi payung hukum untuk melindungi para petani dan industri gula nasional.
<>"Sampai terwujudnya swasembada gula atau selesainya akselerasi peningkatan produktivitas gula 2007," kata Muhammad Arum Sabil, Ketua APTRI, sebelum mengadakan tatap muka dengan Menperindag Rini MS Soewandi, di Jember, Selasa (2/3).
Sedianya Rini memang akan melakukan dialog dengan para petani tebu PTPN XI dan meninjau pabrik gula di daerah ini.
Menurut petani, diperlukan keseriusan dan kemauan politik pemerintah untuk memberantas dan menangkal penyelundupan gula yang telah berkembang menjadi kejahatan terorganisir. Selain itu, mereka juga meminta agar bea masuk atas gula impor yang terkumpul sejak 2000 dikembalikan kepada komunitas pergulaan untuk biaya meningkatkan daya saing.
Sejak keluarnya SK Menperindag Nomor 643 tersebut, kini impor gula hanya dilakukan kalangan produsen atau perusahaan perkebunan yang minimal 75 persen bahan bakunya berasal dari tebu rakyat. Ini berarti tercatat empat BUMN produsen gula di Jawa, yaitu PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IX,X,XI dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai pemegang hak impor.
Adapun menurut petani dalam asosiasi ini, kebutuhan gula nasional setiap tahunnya sebesar 3,2 juta ton. Sementara produksi dalam negeri hanya mempu menghasilkan 1,7 juta ton.
Karena itu mereka sebenarnya tidak keberatan adanya pengadaan gula melalui impor, disebabkan produksi dalam negeri tidak mencukupi. Hanya saja, menurut mereka, harus benar-benar diatur agar tidak membuat petani tebu dalam negeri terpuruk.
Saat ini, kata petani, dalam izin impor yang dikeluarkan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Deperindag kepada importir terdaftar terdapat ketentuan wajib menjamin harga gula petani minimum Rp 3.410 per kilo.
"Masalahnya ini sulit terwujud di 2004 karena harga gula di pasar domestik kembali menurun," kata Arum. Selain maraknya penyelundupan, hal ini diduga karena ada gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk kalangan industri makanan atau minuman tetapi dilempar ke pasar. "Gula itu justru diperlakukan sebagai gula konsumsi dengan harga Rp 3.260 per kilo," kata dia.
Akibatnya, pedagang gula yang tahun lalu menjadi investor penyedia dana talangan gula petani tidak lagi tertarik untuk bekerja sama dengan petani selama tidak ada jaminan pemerintah. Adapun tahun lalu rata-rata harga gula petani mencapai Rp 3.520 per kilo. (ti/cih)