Tayangan televisi sudah sedemikian merasuk jauh ke dalam kehidupan masyarakat. Tak terkecuali kehidupan anak-anak. Sampai-sampai, membatasi jam menonton anak pun terasa sangat sulit bagi sebagian besar orang tua.
Hal itu terungkap dalam sarasehan “Mendampingi Anak dalam Memilih Tayangan Televisi” yang digelar Yayasan Khoiriyah Hasyim, Seblak, Jombang Ahad, (2/1). Sarasehan yang dihadiri sekitar 350 orang tua/wali murid tersebut menghadirkan Muhammad Dawud, anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur.<>
Pria yang akrab disapa Dawud ini mengungkapkan data bahwa anak Indonesia rata-rata menonton televisi selama 30-35 jam dalam satu pekan. “Jumlah ini lebih besar daripada jam belajar mereka di sekolah,” ungkap pria kelahiran Gresik ini.
“Padahal, dengan menonton televisi dua jam per hari saja, anak akan dengan mudah terkena pengaruh secara psikologis,” kata alumnus Universitas Jember ini.
Ia menambahkan, dengan pola menonton seperti itu, anak akan mudah terobsesi tayangan televisi yang mengumbar mimpi-mimpi indah dan kehidupan bergelimang materi. “Lambat laun, anak akan terdorong untuk mewujudkan obsesinya saat dia tumbuh dewasa,” imbuhnya.
“Ketika besar, tidak heran jika anak-anak ini akan mencari pasangan hidup yang kaya raya, bekerja mapan dan dari keluarga berada, seperti yang pernah mereka lihat di televisi,” kata Dawud.
“Ironisnya, banyak anak usia sekolah dasar yang saat ini sudah mengenal jatuh cinta dan pacaran. Diakui atau tidak, ini adalah pengaruh dari sinetron bertema percintaan yang sedang marak,” tambahnya.
Keprihatinan terhadap tayangan televisi juga diungkapkan oleh beberapa peserta yang hadir. “Saya prihatin dengan model pakaian anak-anak sekarang yang tidak karu-karuan karena meniru tayangan televisi. Tolong KPID Jawa Timur bisa lebih berperan dalam mengurangi tayangan yang buka-bukaan seperti itu,” ujar Rudi, seorang wali kelas murid MI.
Ada juga wali murid yang angkat bicara terkait bahasa yang digunakan sebagian program televisi. “Bahasa yang digunakan sebagian televisi juga sangat tidak mendidik. Meski anak sudah diajari berbahasa yang baik di sekolah, tapi justru dirusak oleh televisi lewat penggunaan bahasa yang kasar dan kadang cenderung jorok,” ujar Munhamir, seorang pria asal Lamongan.
Menanggapi hal itu, Dawud menuturkan perlunya upaya maksimal orang tua dalam mendampingi anak saat menonton televisi. “Batasi anak dalam menonton televisi, jangan sampai berlebihan,” imbuh Dawud.
Selain itu, pilihan tema yang tepat bagi perkembangan anak juga diharapkan mampu mengurangi ketergantungan anak kepada tayangan televisi. “Orang tua perlu memilihkan tayangan yang tepat, sesuai dengan usia anak,” tandasnya.
Di luar itu, orang tua seharusnya selalu mendukung anak agar lebih banyak bermain. “Sebab, anak bisa menggerakkan fisiknya dengan bermain. Sehingga kemampuan kinestetiknya juga lebih terasah,” saran pria yang pernah aktif mendampingi anak-anak jalanan ini.
Namun, membatasi jam menonton anak bukanlah hal yang mudah. “Sepertinya mustahil membatasi anak menonton televisi hanya dua jam per hari. Yang paling mungkin dilakukan adalah memindahkan kanal televisinya,” ujar seorang wali murid.
Merespons komentar tersebut, Dawud menegaskan bahwa pembatasan jam menonton anak merupakan pilihan rasional yang harus ditempuh para orang tua, meskipun terasa berat. “Jika tidak memungkinkan, matikan saja televisinya, daripada berdampak negatif lebih jauh,” tandasnya. (nur)