Warta

Pesantren Harus Kembali Ke Khittah

Senin, 27 Juni 2005 | 07:18 WIB

Jakarta, NU Online
Pesantren harus kembali ke khittah yakni membela keutuhan bangsa dan kesejahteraan rakyat dengan melawan segala bentuk penjajahan. "Itu artinya pesantren harus mandiri," ungkap Abdul Mun'im Dz, ketua LTN-NU dalam Mubes II Forum Mahasiswa Alumi Lirboyo (FORMAL), minggu, (26/6) di Asrama Haji Pondok gede.

Selama ini pesantren, kata peneliti LP3ES ini, karena derasnya arus modernisasi dan gerakan neo liberal, pesantren menjadi terdistorsi dan mengikuti pola-pola pendidikan yang diterapkan oleh konsep pendidikan modern. "Pesantren berubah menjadi lembaga sekolahan, tidak lagi menjadi lembaga pendidikan masyarakat, sementara menjadi lembaga sekolah harus bersaing dalam hal fasilitas dengan sekolah lain, yang kemudian lembaga tersebut mencari bantuan kesana-kemari," ungkapnya.

<>

Padahal, lanjut Mun'im dalam sejarahnya pesantren memiliki karekteristik yang khas sebagai lembaga pendidikan masyarakat yang mandiri dan berjuang untuk kemandirian bangsa dan kesejahteraan rakyat yang dibiayai oleh masyarakat sendiri. Tetapi kini atas nama pembaharuan pesantren, atas nama penataan manajemen, atas nama kontekstualisasi ajaran Islam, pesantren tanpa terasa telah masuk dalam agenda neo liberal yang kolonialis, yang mendompleng bersama cita-cita luhur yang di desakkan dari dunia luar tersebut. Akibatnya kini banyak pesantren yang telah benar-benar menjadi corong dan aparat imprealis melalui agenda-agenda demokrasi, gender dan multikulturalisme.

"Melalui agenda modernisasi manajemen, para pimpinan pesantren mendapat jatah kunjungan ke luar negeri ke Eropa dan Amerika, pusat Neo Liberalisme. Tentu saja mereka diperkenalkan dengan pusat peradaban Barat yang baik dan gemerlap, tidak dibawa ke Guantanamo dan kamp-kamp konsentrasi lainnya," ujarnya mencontohkan.

Untuk itu, kata lulusan IAIN Djogjakarta ini, tidak ada jalan lain untuk mengembalikan pesatren sebagai lembaga spiritual, moral dan intelektual kecuali kembali kepada nilai dasar perjuang pesantren yakni kesederhanaan, pengabdian, dan keikhlasan.

Sementara itu dalam diskusi yang juga dihadiri pengamat ekonomi, Icsanudin Noorsy dan Ekonom INDEF, Bustanul Arifin terungkap bahwa dibelahan dunia manapun kini tidak terlepas dari pengaruh neo liberalisme atau globalisasi yang sudah menjalar kemana-mana, merasuki bidang apa saja, baik budaya, pemikiran, ideologi dan gaya hidup, yang dibiayai oleh para kapitalis.

"Para pemodal negara-negara kaya inilah terutama yang menjadi sponsor globalisasi. Sebab itu, mudah dimengerti bila penyebarluasan globalisasi hampir selalu berjalan beriringan dengan penyebarluasan neoliberalisme. Globalisasi sesungguhnya hanya kedok. Di balik kedok globalisasi bersembunyi agenda-agenda ekonomi neoliberal yang dimotori oleh para pemodal negara-negara kaya," kata Bustanul Arifin.

Hal itu juga, diamini oleh Ichsaudin, menurutnya maraknya gelombang globalisasi menyebabkan semakin meningkatnya ketergantungan negara-negara miskin, secara domestik yang kemudian menjadi pemicu porak porandanya fondasi integrasi sosial yang terdapat dalam masyarakat.

"Hal inilah yang juga terjadi di pesantren, sehingga mengakibatkan pesantern kehilangan jati dirinya, mereka (ideologi barat-red) menginginkan agama bukan menjadi ideologi gerakan tetapi menyempitkan sebagai sektor private. Dan jika ini berhasil kekuatan Islam yang digerakan dari pesantren akan lumpuh," papar ekonom yang terkenal lugas dan kritis ini. (cih)

 


Terkait