Jakarta, NU.Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) KH. Hasyim Muzadi menegaskan bahwa lembaga pesantren tidak mungkin menjadi sarang teroris. Tujuan lembaga pendidikan pesantren adalah untuk menciptakan kedamaian dan Islam tidak mengajarkan kekerasan, berkaitan dengan maraknya pemberitaan dan tudingan yang mengaitkan pesantren dengan teroris.
"Itu adalah sesuatu yang keliru dan salah kaprah, ungkap KH.Hasyim Muzadi. Menurutnya, hendaknya pihak-pihak dalam membuat statemen itu harus proporsional. Dalam kaitan tindakan teroris ini, ia menyatakan. "Ada orang beragama, kebetulan Ia Islam dan melakukan pengeboman serta bertindak kriminal. Solusinya dia harus diusut secara tuntas sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku.
<>"Ada apa mesti harus Islam harus pesantren dan sebagainya," ungkapnya. Ini salahnya, dan tetapi kadang-kadang kita tidak bisa menutup mata orang-orang islamnya melakukan kesalahan, dia selalu teriak teriak atas nama islam.
Hal ini terjadi karena ada kesalahan terhadap interpretasi Islam yang keliru. Menurutnya, Islam fanatik dengan wawasan yang sempit itu sudah ada sejak jaman khulafaurrasyidin. yg membunuh Sayyidina Ali itu orang yang tekun beribadah, artinya bukan dia tidak orang soleh tetapi dia punya kesempitan wawasan, dimana selain dirinya itu salah. "ini kesalahan ditingkat wacana, yang tipe begini kemudian dilanda ketidakadilan maka dia akan gunakan kekerasan untuk melakukan perlawanan," papar Hasyim.
Disebutkannya, lembaga pendidikan seperti pesantren bertujuan mengajarkan agar seseorang dapat menghayati agama Islam dengan baik. Dengan demikian, membawa kedamaian di seluruh dunia. Sedangkan kekerasan sendiri bertentangan dengan Islam. ”Jadi, tidak mungkin lembaga pendidikan itu sebagai sarang teroris. Lembaga itu sendiri tujuannya untuk membawa kerukunan,” ungkapnya
Namun sejak menjamur-suburnya organisasi kemasyarakatan Islam garis keras dalam bentuk institusi-institusi, semacam Jama'ah Tablig dan Hizbut Tahrir. Ada Jamaah Al-Islamiyah yang selama ini dituduh sebagai sarang teroris. Di samping juga tumbuh subur partai-partai politik Islam di Indonesia.
Fenomena yang demikianlah yang menjadikan pondok pesantren terdistorsikan identik sebagai sarang terorisme. Padahal secara realistis konkret antara terorisme dan pondok pesantren adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Karena pondok pesantren selama ini selalu identik dengan nilai-nilai moralitas dan keberadabannya, sedangkan terorisme identik dengan kekerasan dan ketidakbiadabannya.
Mengenai pesantren NU, Hasyim mengungkapkan, dalam NU tidak ada, karena gerakan-gerakan itu baru mungkin masuk kalau wawasan keilmuan itu keras. Jadi ada sistem kurikuler yang memungkinkan untuk masuknya paham yang mengajarkan nilai-nilai interpretasi agama yang salah kaprah. "Kurikulum itu tidak mungkin masuk ke NU, hingga secara wacana pun itu susah dimasuki dan itu tidak sekarang saja tetapi sejak dulu zaman DI/TII kartosuwiryo, paham-paham itu sudah masuk" tegasnya.
Ia juga menjelaskan memang sekarang ini pengertian pesantren tidak lagi mencerminkan realitas tunggal sebagaimana pada era kolonial, dimana pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan sekaligus pusat interaksi sosial masyarakat. Namun kini telah terjadi perubahan nilai, pola, pemahaman dan ideologi dalam dunia pesantren. Pesantren tidak lagi merupakan lembaga pendidikan agama yang mengajarkan kesantunan beragama, semangat toleransi dan berbasis pada realitas sosial masyarakat. Secara faktual ada pesantren yang tidak memiliki keterkaitan dengan masyarakat lokal, tidak berinteraksi dengan realitas sosial di sekitarnya, tetapi lebih berorientasi pada jaringan sosial mereka yang berada di luar masyarakat sekitar, "pesantren yang demikian yang mestinya menjadi sorotan," ungkap Hasim Muzadi (Cih)