Pertanian Harus Dijadikan Sektor Penggerak Ekonomi, Bukan Hanya Pendukung
Rabu, 13 Agustus 2003 | 05:26 WIB
Jakarta, NU Online
Dengan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi Indonesia memiliki potensi dalam mengembangkan sistem agribisnis/agroindustri. Namun demikian, potensi tersebut saat ini belum dimanfaatkan secara serius sehingga Indonesia jauh tertinggal dari Negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
Perbaikan terhadap kelemahan-kelemahan tersebut merupakan sesuatu yang mendesak, baik dalam bidang on-farm maupun off-farm, peningkatan nilai tambah produk agribisnis diharapkan dapat dilakukan dengan lebih konsisten sehingga memberikan dampak positif terhadap perbaikan kondisi perekonomian Indonesia.
<>Hal ini merupakan bagian dari pemikiran Direktur MM Agribis IPB Prof E. Gumbira S’aid dalam seminar Agribisnis Berbasis Pesantren yang diadakan Lembaga Pertanian NU bekerjasama dengan Usese Foundation di Gedung MM Agribisnis IPB Bogor (12/8).
Sektor agribisnis memiliki kontribusi yang cukup besar dalam PDB nasional, sekitar 16.18%, akan tetapi jika dibandingkan dengan sektor pengolahan yang banyak memanfaatkan bahan baku pertanian yang mencapai 26.51% dalam PDB, sumbangan sektor pertanian lebih kecil. “Ini menunjukkan bahwa proses pengolahan produk pertanian memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar, sehingga mampu memberikan nilai ekonomi yang lebih tinggi,” ungkap Gumbira Said.
Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak akan tercapai tanpa adanya kompetensi yang memadai dari subsistem budidaya (on farm) serta kelancaran hubungan keterkaitan antara lini on farm dan off farm.
Zaman orde baru, pertanian diposisikan hanya sebagai sektor pendukung yang memasok kebutuhan pangan dan bahan baku untuk industri, pengendali stabilitas harga, dan pemasok tenaga kerja murah, sehingga bukan sebagai sektor penghela pertumbuhan ekonomi. Sektor pertanian adalah sektor yang relatif tahan terhadap krisis, pada waktu Indonesia mengalami krisis pada tahun 1997, sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mampu bertahan bahkan tumbuh secara positif (+0.02%).
Gumbira Said berpendapat bahwa kebijakan ini harus diubah karena pertanian secara nyata memberikan pengaruh besar terhadap perbaikan taraf hidup bangsa karena jika diteliti banyak hal yang dapat menjadi alasan mengapa kebijakan tersebut harus diubah.
Gumbira Said menjelaskan bahwa sektor pertanian merupakan satu-satunya harapan dalam pengadaan pangan nasional non impor. Dengan sumberdaya domestik yang sangat beragam, komoditas agribisnis memiliki potensi yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan spesifikasi komoditasnya dapat diubah dalam produk bernilai tambah tinggi.
Alasan lainnya adalah sektor agribisnis merupakan penyerap angkatan kerja nasional terbesar. Saat ini sektor agribisnis masih menyerap 43.77 persen (BPS 2002), walaupun telah menurun dari tahun 1995 yang mencapai 48%. Hal tersebut dapat menjadi kelemahan sekaligus kelebihan karena apabila tidak dimanfaatkan dengan optimal untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas agribisnis, maka kondisi tersebut merupakan beban yang akan menghambat laju pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Kebijakan otonomi daerah juga sangat berkaitan dengan pengembangan sektor pertanian. Otonomi menuntut setiap daerah mengembangkan seluruh potensi daerahnya, dan dalam hal ini pertanian dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sektor yang dapat menghasilkan penambahan pendapatan asli daerah ataupun peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sendiri.
Hal lainnya adalah bahwa pengembangan pertanian akan mampu mendukung pertumbuhan usaha kecil, menengah, dan besar. Usaha kecil merupakan usaha yang paling banyak didirikan, yaitu mencapai sekitar 90%, namun dengan tingkat pertumbuhan yang hanya 1.4% per tahun. Ini perlu dioptimalkan dengan lebih lanjut karena selama ini kurang mendapatkan fasilitas pengembangan yang memadai seperti teknis produksi dan penanganan pasca panen, permodalan, pemasaran.(mkf)