Perkembangan ekonomi Islam dinilai kalangan akademisi maupun praktisi telah mengalami kemajuan pesat. Salah satu ukurannya adalah semakin menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syari’ah semacam Baitul Mal wat Tamwil (BMT) yang berdiri di berbagai daerah, bahkan dalam perjalanannya, lembaga keuangan tersebut mampu menjadi kekuatan ekonomi di Indonesia bahkan dunia.
Pernyataan ini diungkapkan Ketua Program Studi Perbankan Syari’ah STAI Mathaliul Falah Pati Ahmad Dimyati M Ag saat menyampaikan materi “Mencari Jawab atas Kegagalan System Ekonomi Konvensional” dalam acara Pelatihan Kader Lanjutan (PKL) tingkat Nasional oleh PC PMII Kudus di Balai Diklat Menawan Gebog Kudus, Rabu (2/11).<>
Menurut Dimyati, salah satu penyebabnya adalah sistem ekonomi Islam dinilai memiliki keunggulan dibanding dengan beragam sistem ekonomi konvensional yang datang silih berganti.
“Kendati demikian, dari sudut pandang akademik masih dijumpai persoalan mendasar pada ekonomi Islam tersebut. Diantaranya belum ditemukan rancang bangun epistemologi yang kokoh sebagai pijakan bagi keilmuannya sehingga memunculkan beragam arus pemikiran. Mulai arus pemikiran otoritas teks-teks liturgis sebagai sumber keilmuan ekonomi Islam dan arus pemikiran pragmatisme serta arus tengah yang mendamaikan dua arus pemikiran sebelumnya,” terangnya.
Dari sisi praksis, tambah alumni Mahasiswa S2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, lembaga keuangan syari’ah sebagai kepanjangan tangan ekonomi Islam masih jauh dari ideal. Hal ini bisa dilihat dari penerapan prinsip syari’ah model-model transaksinya masih menggunakan sistem perbankan konvensional.
“Makanya jangan heran, bila ada tuduhan, bank-bank syariah tidak berbeda jauh dengan perbankan konvesional. BMT tidak lain dari rentenir berbaju syari’ah,” ujar Dimyati di hadapan peserta PKL.
Untuk menjawab itu, Dimyati mengajukan sebuah hipotesis bahwa ekonomi Islam lahir dari pemahaman terhadap ajaran agama Islam itu sendiri khususnya bidang mu’amalah dan maliyah. Begitu pula, dalam menerapkan ajaran agama harus ada upaya kontekstualisasi ruang dan waktu, sehingga tidak mengalami kegagalan.
“Makanya, yang mungkin bisa dilakukan adalah menarik ajaran tersebut menjadi sebuah sistem pengetahuan (ekonomi Islam) dari sisi etikanya,” tandas dosen yang sedang menyelesaikan disertasi program doktor di UIN Sunan Kalijaga ini. (adb)