Penguatan Kelompok Moderat Bagian Integral Memberantas Terorisme
Rabu, 18 November 2009 | 08:59 WIB
Indonesia merupakan negara yang multi agama, multi bahasa dan multi etnik dalam negara kepulauan yang luas. Karena harmoni diantara agama, budaya dan etnis menjadi faktor sangat penting. Kelompok garis keras, meskipun kecil, ketika melakukan tindakan terorisme, bisa mengancam keberadaan bangsa ini.
Untuk menjaga kesatuan bangsa yang sangat beragama ini, Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi berpendapat perlunya memperkuat kelompok-kelompok moderat seperti NU yang telah lama meneguhkan kebaradaan bangsa ini. Salah satu jalan untuk menumbuhkan sikap moderat adalah melalui pendidikan.<>
Penguatan pendidikan ini merupakan bagian dari menghadang ideologi garis keras atau bagian “isme” dari terror, yang tak bisa dihilangkan dengan pendekatan kekerasan atau intelejen. Dikatakannya ekstrimisme dan terorisme secara tegas bertentangan dengan nilai-nilai Islam karena Islam membawa misi kedamaian bagi seluruh alam.
“Pendidikan merupakan modal dasar dalam mewujudkan sikap moderat, untuk melawan terorisme, dan ini sudah dilakukan di pesantren. Dan ini yang harus diperkuat oleh negara, sayangnya pesantren hanya ditengok pada waktu pemilu, tidak ada empowering,” katanya dalam acara workshop counter terrorisme, di Jakarta, Rabu (18/11).
Dijelaskannya, di pesantren, telah terjadi proses keseimbangan dalam pengajaran berbagai cabang ilmu agama sehingga para santri tidak memiliki kecenderungan berfikir sempit. Santri belajar ilmu fikih, dakwah dan tasawwuf yang merupakan satu kesatuan dalam Islam. Untuk saat ditambahkan pula dengan pengajaran tentang hak asasi manusia sehingga pemahamannya menjadi utuh.
Jika masyarakat hanya belajar fikih saja, maka akan menghasilkan eksistensi tetapi tanpa kerjasama, dialog hanya akan menghasilkan perbedaan. Ketika ditambahkan dengan dakwah, akan menghasilkan bimbingan dan konseling sehingga menghasilkan proses pencerahan.
“Tasawwuf tak hanya terkait dengan etika dalam Islam, tetapi juga etika kemanusiaan. Jika ini digabungkan dengan pengakuan atas hak asasi manusia, akan menghasilkan elemen koeksitensi,” tandasnya.
Upaya memberantas terorisme dengan liberalisasi agama menurutnya tak akan menyelesaikan masalah karena liberalisasi menghapus akar dari nilai-nilai agama sehingga memunculkan kelompok garis keras yang beralasan ingin mempertahankan nilai-nilai agama. Kelompok fundamentalis tentu saja tidak bisa diharapkan karena mereka memiliki potensi melakukan kekerasan.
Moderasi, menurutnya merupakan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara keyakinan dan toleransi. Keyakinan tanpa toleransi akan menghasilkan ekstrimisme dan eksklusifisme sedangkan toleransi tanpa keyakinan akan menghasilkan kebingungan dan mudah tertipu.
“Moderat berbeda dengan liberal karena moderat menjaga keseimbangan antara toleransi dan keyakinan sementara liberal mencari toleransi dengan mengurangi keyakinan. Toleransi memunculkan kedamaian dan koeksistensi dengan kelompok atau agama lain,” terangnya.
Ditegaskannya, terorisme yang mengatasnamakan agama seringkali hanya kedok untuk kepentingan lain seperti ekonomi, politik atau kekuasaan dan kebencian terhadap kelompok lain. Karena itu, pendekatan global untuk mengurangi berbagai kesenjangan tersebut sangat penting untuk membantu mengurangi ketegangan yang ada.
“Saya bersyukur Obama telah melakukan pengendoran, dan itu setengah masalah sudah selesai. Harus ada penyelesaian dalam masalah ekspansi ekonomi, penjajahan politik dan lainnya untuk menyelesaikan masalah ini,” tandasnya.
Ia sepakat kekuatan sipil harus diperkuat untuk memberantas terorisme, tetapi juga tidak bisa berdiri sendiri, karena harus bergabung dengan kekuatan luar lainnya seperti negara.
Terorisme yang berkembang di Indonesia belakangan ini menurutnya muncul dari beberapa faktor, diantaranya munculnya ideologi baru yang bertentangan dengan ajaran moderasi domestik, yang diakibatkan oleh pengarung global yang tidak sama dengan budaya Indonesia.
“Dari perspektif ini, proses reformasi yang terjadi di Indonesia tak hanya membawa pengaruh demokrasi, tetapi juga pengaruh konflik global dari konflik antara Barat dan Timur Tengah,” ujarnya.
Faktor kedua adalah, keyakinan baru yang masuk ke Indonesia tersebut menciptakan pengikut baru yang kemudian menggunakan kekerasan untuk menunjukkan pertentangannya dengan Barat. Terakhir adalah, konflik non agama yang kemudian diatasnamakan agama seperti konflik di Maluku yang muncul dari upaya separatisme yang kemudian menggunakan kelompok agama. Bom Bali menurutnya merupakan upaya penunjukan penentangan pada Barat sedangkan Bom Marriot merupakan penyalahgunaan agama.
“Jadi Indonesia merupakan korban dari terorisme, bukan pusat atau pendukung terorisme,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Center on Global Counterterrorism Cooperation (CGCC), Alistair Millar menyatakan kerjasama dan pelatihan yang untuk memperkuat civil society dalam rangka memperkuat strategi global memberantas dan mencegah terorisme dapat memberi manfaat yang maksimal.
"Kami sangat bangga bisa bekerjasama dengan NU sudah merespon ini dengan sangat baik. Dari sisi civil society ini sangat bagus. Ke depannya agar semakin berkembang dan menguat," katanya. (mkf)