Warta

Penghentian Pengiriman TKW adalah Pelanggaran HAM

Ahad, 19 Agustus 2007 | 09:35 WIB

Makassar, NU Online
Penghentian pengiriman Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke luar negeri menyusul banyaknya kasus penyiksaan yang dialami para TKS merupakan pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia (HAM).

Katib Aam PBNU Prof Dr. Nasaruddin Umar dalam pelatihan HAM perspektif gender di Makassar, Sabtu, mengatakan, melarang wanita untuk mencari nafkah di luar negeri dapat berdampak buruk pada kehidupan keluarganya.

<>

"Jangan hanya karena perbuatan segelintir oknum tertentu yang melakukan penyiksaan lalu pengiriman TKW dihentikan," ujar Nasaruddin dan menambahkan, tidak sedikit TKW yang amat membantu peningkatan kehidupan ekonomi keluarganya.

"Seharusnya yang perlu menjadi perhatian adalah implementasi penegakan hukum, bukan melarang orang untuk bekerja sebab hal tersebut merupakan pelanggaran HAM," katanya.

Nasaruddin yang juga Dirjen Bimbingan Masyarakat Departemen Agama, mengatakan, TKW asal Indonesia tidak akan mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi sepanjang jalur yang ditempuhnya legal dan memiliki keterampilan seperti dapat berkomunikasi dengan bahasa asing.

Bila dibandingkan dengan tenaga kerja dari negara-negara lainnya, khususnya TKW asal Philipina serta negara-negara Asia lainnya, mereka jarang mendapatkan perlakuan kurang manusiawi sebab mereka dipersiapkan secara profesional, sementara TKW Indonesia sangat sedikit yang memiliki keterampilan khusus.

"Meski demikian, TKI kita tetap punya kelebihan seperti terkenal sopan dan santun sehingga banyak negara yang meminta TKI Indonesia," tegas Dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta ini.

Sebelumnya, Ketua Pansus Ranperda Trafficking DPRD Sulsel, Andi Timo Pangerang menuturkan, pada umumnya, para TKI yang mendapat perlakuan tidak manusiawi saat mencari nafkah di mancanegara seperti Malaysia, adalah mereka yang masuk melalui cara-cara illegal dan merupakan korban trafficking (perdagangan orang).

Hasil temuan tim Pansus Trafficking DPRD Sulsel di Nunukan, Kaltim, (TKI) yang bekerja di Malaysia umumnya berasal dari Sulawesi Selatan yakni sekitar 3.000 - 3.500 orang atau sekitar 75 persen dari total TKI yang masuk ke neheri jiwan itu setiap tahun.

Beberapa tenaga kerja di sana mengaku tidak dapat pulang karena kehabisan dana sementara mereka tidak diberikan upah dari jerih payahnya selama bekerja di negara tetangga itu.

Sedangkan pengakuan beberapa TKI di Nunukan yang berhasil melarikan diri, lanjut Timo, ada di antara mereka yang dipekerjakan di kebun kelapa sawit tanpa diberi upah sepersen pun dengan alasan bahwa upah yang diperolehnya itu dialihkan untuk membayar utang-utangnya saat mengurus paspor dan administrasi lain.

"Hingga saat ini, mereka tidak tahu berapa sebenarnya upah yang mereka terima selama bekerja di perkebunan sawit itu," tutur Timo dan menambahkan bahwa sebagian kembali ke tanah air dengan kondisi fisik dan ekonomi yang cukup parah.

Sebab itu, pihaknya akan meminta kepada pemerintah daerah Sulsel untuk menjalin kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Nunukan dalam upaya meminimalisasi pengiriman TKI asal Sulsel secara illegal.

Timo juga berjanji dalam Ranperda Trafficking ini, pihaknya akan membuat aturan yang memberikan sanksi kepada kepala desa, lurah, camat serta Perusahaan Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indoensia (PPJTKI) bila ada warga Sulsel yang lolos bekerja sebagai TKI di negeri manapun tanpa mengantongi surat izin kerja dari pemerintah setempat.

Selain itu, warga Sulsel akan diwajibkan meminta surat keterangan dari pihak kelurahan atau kecamatan bila ingin menjadi TKI. (ant/nun)


Terkait