Warta

Pengasuh Pesantren An Nur Surabaya Bantah Sudutkan Wahabi

Selasa, 2 Agustus 2011 | 08:36 WIB

Surabaya, NU Online
Pengasuh Pesantren Mahasiswa "An-Nur" Wonocolo, Surabaya, KH Imam Ghazali Said MA, membantah pihaknya menyudutkan kaum Wahabi secara negatif di hadapan diplomat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Australia saat berkunjung ke pesantrennya (3/6).

"Saya sama sekali tidak bermaksud menjelek-jelekkan kaum Wahabi kepada pejabat Kemenlu Australia. Posisi saya hanya menjawab pertanyaan mereka tentang tumbuhnya radikalisme di pesantren," katanya di Surabaya, Senin.
<>
Ia mengemukakan hal itu menanggapi protes kalangan pesantren dan kelompok Wahabi yang tersinggung dengan jawaban dirinya atas pertanyaan diplomat dari Kemenlu Australia Greg Ralph saat mengunjungi pesantrennya, 3 Juni 2011, kemudian dilansir ANTARA pada 5 Juni 2011.

Menurut KH Imam Ghazali Said yang juga dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya itu, jawaban dirinya atas pertanyaan Greg Ralph itu bersifat penjelasan tentang posisi pesantren asuhannya di tengah menjamurnya aliran Islam di Indonesia akibat terbukanya kran demokrasi.

"Jadi, saya tidak bermaksud menjelek-jelekkan, karena saya juga banyak mendapat manfaat dari para masyayikh kaum Wahabi saat belajar di Arab Saudi, seperti Syeikh Nasirudin Al-Abani, Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Shalih Utsaimin, dan lainnya," paparnya.

Namun, dirinya tidak mengikuti seluruh fatwa mereka, karena dirinya selalu membandingkan dengan pendapat ulama klasik dan kontemporer, seperti Sayyid Muhammad Alwi Al Maliki, Syeikh Yusuf Qardawi, Sayyid Qutub, Hasan Al Banna, Syeikh Taqiyudin Nabhani, Ayatullah Khomeini, dan sebagainya.

Bahkan, dirinya juga mempertimbangkan pandangan ulama dan tokoh dalam konteks ke-Indonesia-an, di antaranya KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, KH Adurrahman Wahid (Gus Dur), Ir Soekarno, dan sebagainya.

"Ramuan paham keagamaan dari berbagai aliran pemikiran itulah yang saya ajarkan kepada para santri di Pesantren Mahasiswa An-Nur, sehingga santri selalu belajar untuk jujur, toleran, dan bisa hidup berdampingan dengan siapapun tanpa prasangka demi kemajuan Islam dan Indonesia," paparnya.

Kepada Greg Ralph yang didampingi Glen Askew (Deputi bidang Politik Kedubes Australia di Jakarta) saat itu, ia menjawab bahwa di Indonesia ada 20.000-an pesantren milik Nahdlatul Ulama, tapi di Indonesia sekarang juga ada puluhan pesantren yang berafiliasi dengan kelompok Wahabi di Arab Saudi.

"Kalau pesantren milik NU yang jumlahnya puluhan ribu dan Pesantren An-Nur ada di dalamnya itu, saya jamin tidak ada satu pun yang mencetak kader radikal, tapi radikalime di Indonesia selalu memiliki keterkaitan dengan puluhan pesantren yang membawa paham Wahabi ke Indonesia," tuturnya.

Namun, ia mengakui di Indonesia memang ada perbedaan metode dalam pemahaman Al Quran dan Hadits di kalangan Muslim yang berafisiliasi Ahlussunnah wal Jamaah dengan kaum Salafi (Wahabi) yang sebetulnya Ahlussunnah juga, namun cenderung tekstual dalam memahami Al Quran dan Hadits.

Secara geneologi, pemikiran kaum Salafi merujuk pada metode pemahaman Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahab yang kemudian direalisasikan oleh Kerajaan Saudi Arabia, tapi semua aliran Islam itu mengakui Al Quran dan Hadits.

"Masalahnya, pemahaman yang tekstual terhadap Al Quran dan Hadits mengandung konsekuensi yakni intoleran terhadap budaya lokal, melahirkan generasi radikal yang cenderung menyalahkan, mensyirikkan, dan menyesatkan, dan bahkan mengkafirkan aliran lain yang berbeda, padahal sama-sama bersumber Al Qutan dan Hadits. Hanya beda metode tekstual dan bukan," ujarnya, menjelaskan.

Ia menambahkan sikap toleran terhadap sesama Muslim dan non-Muslim yang diajarkan pesantren di lingkungan NU, itu sesungguhnya tetap merujuk pada kehidupan sosial dan politik yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW melalui Piagam Madinah dalam negara.

Redaktur: Mukafi Niam
Sumber   : Antara


Terkait