Jakarta, NU Online
Pendekatan liberal dalam melakukan reinterpretasi hukum Islam yang ada dalam Qur’an dan Hadist tampaknya malah menimbulkan masalah baru karena adanya tentangan dari berbagai fihak. Mereka dianggap terlalu radikal dalam menafsirkan Qur’an dan Hadist sehingga banyak timbul kontraversi yang tak produktif.
Untuk mengatasi persoalan baru yang bermunculan dan disesuaikan dengan ajaran Islam, Ketua PBNU Prof. Dr. Masykuri Abdillah mengusulkan jalan kompromi dengan pembedaan antara fikih dengan konun atau UU. Dalam hal ini filosofi, nilai, dan prinsip Islam yang dimasukkan dalam UU tersebut sehingga tetap kontekstual dengan kondisi saat ini.
<>“Hasilnya sebenarnya tak jauh berbeda dengan yang dikemukakan oleh Islam Liberal, tetapi prosesnya berbeda. Kalau mereka menolak sama sekali, seolah-olah menentang tuhan, Qur’an dan Hadist hanya untuk Arab, dan berbagai argument lainnya, kita tetap mengacu pada Qur’an dan Hadist dan menerimanya dengan penuh rasa rendah diri. Ini perbedaannya,” tandasnya.
Dari pengalamannya, wakil rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut mengungkapkan bahwa ia mengaku tak pernah mendapat kritikan dari kelompok konservatif.
Masykuri yang baru saja mengikuti seminar Hukum Pidana dan Globalisasi di Pakitan pada 26-28 Mei lalu tersebut mengusulkan jika saat ini ada ushul fikih dalam memahami teks, sebaiknya juga ada ushul konun atau metodologi dalam memahami ketentuan al qur’an dan hadis dan bagaimana memformalisasikan ajaran Islam dalam UU nasional dimana hukum Islam menjadi inputnya.
Perlunya Ushul Konun
Dalam seminar yang diikuti oleh para ulama Islam dari 12 negera tersebut, diupayakan bagaimana hukum Islam bisa diterima semua kalangan, tak terkesan kejam dan kuno seperti adanya potong tangan, khisos, rajam dan lainnya.
Ketentuan tentang hukuman bagi penzina, pencuri tersebut sudah ditetapkan dalam Al Qur’an dan jika dibuat fikih baru, akan menimbulkan banyak perdebatan sehingga dibuatlah UU dengan mengacu pada nilai-nilai Qur’an dan Hadist dan disesuaikan dengan kondisi saat ini.
“Saya berpendapat fikih tidak bisa berubah, kalau pencurian ya potong tangan, tetapi kalau diundangkan ya adaa ijtihad, karena itu kita perlu membedakan fikih dan konun. Untuk konun ini, kita bisa melihat esensi dari hukum pidana itu, misalnya, orang yang berzina, mencuri ya cukup dengan hukuman penjara. Yang penting dikenakan hukum, tetapi jangan dianggap sebagai satu fikih karena ada aturan untuk memahaminya,” tegasnya.
Pemerintah Pakistan sendiri sebenarnya sudah menetapkan UU tentang hudud, tetapi ditunda, baik atas permintaan negara maupun tokoh-tokoh muslim dengan alasan belum siap karena nantinya banyak rakyat menjadi korban.
Dalam hal ini, para pemerintah di negara-negara muslim bisa mengaku ke Indonesia. Berbagai UU yang dibuat mengambil esensi dari ajaran Islam. Konun merupakan aplikasi dari kondisi saat ini.
Beberapa pemikir Islam terkenal juga mengikuti acara tersebut seperti Hassan Hanafi dari Mesir, Taher Mahmud dari India. Said Ramadhan yang merupakan anak Hasan al Banna juga mengirimkan makalahnya. Acara ini merupakan prakarsa dari Council of Ideology Pakistan.(mkf)