Jakarta, NU.Online
Pemerintah dinilai tidak pernah serius memajukan pertanian Indonesia, dan itu terlihat dari berbagai kebijakan soal pertanian yang selalu berubah-ubah setiap pergantian pejabat.
Hal itu dikemukakan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Ir Siswono Yudohusodo, dan Rektor Institut Pertanian Bogor(IPB) Prof Dr Ir Ahmad Ansori Matjjik, MSc, seperti dikutip ANTARA, Minggu.(24/08/2003)
<>"Jadi di negara ini, bisa dikatakan tidak ada kebijakan pertanian yang memihak kaum petani. Setiap ganti pejabat, maka ganti pula kebijakannya," kata Siswono saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Menggugat Visi Pendidikan Tinggi Pertanian Abad
21" di Kampus IPB Darmaga, Sabtu. Hal itulah yang menyebabkan pertanian di Indonesia seperti berjalan di tempat. Kesejahteraan petani pun kian hari bukannya kian meningkat, malah kian miskin.
"Pemerintah lebih memilih impor daripada mensubsidi kepentingan dalam negeri, termasuk pertanian," katanya. Ia menyebut kebijakan impor "yang tidak bijak" itulah, yang membuat kian terperosoknya nasib petani ke jurang kemiskinan, dan kemudian diberinya contoh tentang makin banyaknya "residual foods" yang menyerbu Indonesia.
"Sebagai contoh, kini kita diserbu paha ayam dari Amerika Serikat yang di sana tidak laku, malah dipakai untuk makanan hewan. Pemerintah malah menampungnya dan dilempar ke kita dengan harga jual yang sangat murah," katanya.
"Saat itu paha ayam dari AS dijual Rp4.000 per Kg, sedangkan peternak kita menjual dengan harga Rp6.500 per Kg, di mana ujungnya-ujungnya, banyak peternak ayam di Tanah Air yang gulung tikar," katanya.
Seharusnya, kata dia, pemerintah lebih melindungi pertanian Indonesia seperti yang dilakukan Jepang atau Thailand dengan produksi pertaniannya. Ia memberi contoh bahwa di Jepang, harga beras mencapai Rp50.000 per Kg, namun yang dijual ke luar jauh lebih murah, dan itu jelas berbeda dengan pemerintah Indonesia.Untuk Indonesia, katanya, harga beras sengaja dimurahkan, untuk menurunkan inflasi, tapi ujungnya petani yang miskinlah yang harus menanggungnya.
"Semua itu demi mensubsidi orang-orang kuat yang sudah kaya," tambahnya. Menurut dia, hasil produksi pertanian Indonesia menguasai sebagian besar kebutuhan dunia, sehingga sudah seharusnya petani di Indonesia bisa kaya dan sejahtera bila pemerintah mau memihak pertanian.
Ikhwal komoditi lada putih dicontohkannya bahwa sekitar 40 persen kebutuhan lada putih di dunia dipasok dari Indonesia, dan seharusnya Indonesialah yang bisa mengontrol harganya."Tapi karena keberpihakan yang kurang itulah, maka kitalah yang diatur oleh negara lain," katanya.
Ia mengungkapkan bahwa berbagai masukan telah disampaikan pihaknya kepada pemerintah dan Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri, namun hingga kini belum ada langkah nyata yang diambil pemerintah.
"Saya pernah memaparkan semuanya ke pemerintah. (Menperindag) Rini Suwandi pun bersama jajaran Dirjennya pernah mengundang saya untuk membahas hal tersebut. Semua permasalahan dan solusi saya utarakan, namun hingga kini tidak ada realisasinya. Mungkin lagi sibuk dengan Sukhoi-nya," kata Siswono sambil berkelakar.
Tak ada komitmen
Sementara itu, secara terpisah Rektor IPB Prof Dr Ir H Ahmad Ansori Mattjik, MSc menegaskan kembali bahwa tidak beranjaknya sektor pertanian di Indonesia karena pemerintah tidak pernah memiliki komitmen yang kuat untuk menjadikan pertanian sebagai "platform" pembangunan ekonomi di Indonesia.
"Padahal pertanian adalah mata pencaharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Seharusnya sektor inilah yang dijadikan ’leading sector’ dalam pembangunan ekonomi negeri ini," katanya.
Malahan, kata dia, ketika krisis ekonomi menghantam Indonesia, dan hingga kini belum sepenuhnya pulih, sektor pertanian tela teruji dan terbukti dapat bertahan, dan tetap memberi sumbangan bagi berjalannya roda ekonomi.
Menurut dia, tidak adanya komitmen pemerintah terhadap sektor pertanian itulah yang menjadi salah satu penyebab mengapa lulusan IPB tidak terjun ke dunia pertanian.
"Pemerintah tidak pernah memberi pengumuman mengenai kebutuhan tenaga ahli-ahli pertanian. Akibatnya para lulusan IPB lebih memilih ke bidang lain, karena pemerintah pun terlihat tidak ada perhatian pada bidang pertanian, termasu