Pemerintah Malaysia Memicu Penganut Islam Radikal Lari ke Negara Tetangga
Sabtu, 26 September 2009 | 23:26 WIB
Tudingan bahwa pemerintah Malaysia memiliki peran dalam mengekspor terorisme ke Indonesia, tampaknya, cukup beralasan. Pasalnya, kebijakan pemerintah Malaysia kerap memicu larinya penganut Islam radikal ke negara-negara tetangga, terutama Indonesia.
Yang terbaru, negeri jiran itu melepaskan sejumlah tahanan kelas kakap yang mayoritas petinggi Jamaah Islamiyah (JI). Mereka selama ini ditahan tanpa dakwaan dan diadili dengan Undang-Undang (UU) Internal Security Act (ISA).<>
''Pembebasan tahanan tak semuanya diekspose kepada media. Ada yang memang ditutup-tutupi karena media di sini juga bisa dijerat dengan pasal ISA,'' terang seorang anggota kepolisian Malaysia kepada wartawan Jawa Pos di Johor belum lama ini.
Di antara daftar yang dimiliki Jawa Pos, terdapat salah satu tokoh karismatis di kalangan jaringan JI Mantiqi I, yakni Dr Abdullah Daud. Pria berusia 60 tahunan itu adalah rekan Noordin dan Dr Azhari ketika mereka sama-sama menjadi pensyarah alias dosen di Universiti Technology Malaysia (UTM).
Selain Abdullah, ada dua orang asal Indonesia, yakni Zainun Rasyhid dan Ahmad Ghafar Shahril. ''Mereka kini terus diawasi dan dapat kembali diamankan jika dirasa membahayakan keamanan negara,'' tegas sumber itu.
Juru bicara keluarga Noordin, Badarudin Ismail, justru berpendapat lain. Menurut dia, pangkal dari persoalan ini mengerucut pada kebijakan ISA yang diberlakukan pemerintah Malaysia. Menurut dia, menyebarnya tokoh jihadis yang dulu berada di Luqmanul Hakiem untuk berjihad di luar Malaysia, termasuk Dr Azhari Husin dan Noordin M. Top, juga akibat menghindari ISA.
''Itu sesuai apa yang disampaikan istri Dr Azhari kepada saya. Coba tidak ada ISA, pasti para mereka tetap berjihad di jalur dakwah di pesantren,'' tegas pria yang juga pernah menjadi tahanan ISA tersebut.
Badarudin menengarai bahwa kebijakan ISA memicu kemarahan sejumlah mantan jihadis yang kemudian lari ke Indonesia dan melancarkan serangan teror di sana. Indonesia menjadi pilihan karena memiliki jalur transportasi laut dan sistem keamanan imigrasi yang lebih lemah dibanding Malaysia maupun Singapura.
Seorang anggota JI, sebut saja namanya Abu Hurairah, mengatakan bahwa pasca kematian Noordin yang selama ini sangat aktif dalam bidang muaskar dan operasi jihad, gerakan sel JI mantan komando Noordin dkk akan lebih fokus pada tarbiyah dan ekonomi.
''Terutama memperkuat rekrutmen sel jihadis pada berbagai jenis profesi yang jumlahnya minimal 300 orang per wakalah,'' terangnya.
Pria itu mengaku mendapatkan informasi valid bahwa kepastian tentang siapa yang menggantikan Noordin akan diputuskan setelah pemakaman. Sangat mungkin calon pengganti Noordin akan mengenyam tugas yang lebih berat karena harus terus beroperasi dengan lebih terstruktur, mengingat polisi sudah mengantongi daftar nama alumnus Pakistan, Afghanistan, dan alumnus pendidikan militer Mindanao.
''Informasi dari anggota JI propemerintah seperti Nasir Abbas juga membuat riskan pergerakan ini. Tapi, yang jelas, jihad masih belum tuntas,'' ujarnya. (dar)