Warta

Pelaku Tindak Kekerasan Sebetulnya Kelompok Minoritas

Kamis, 28 April 2011 | 09:09 WIB

Solo, NU Online
Pelaku tindakan kekerasan, yakni kelompok “Islam ekstrem” sebetulnya kelompok minoritas (the fringes) di Indonesia.

“Dalam kasus-kasus kekerasan agama di Indonesia, dalam banyak hal, yang terjadi bukanlah mayoritas versus minoritas melainkan minoritas versus minoritas,” kata Sumanto Al Qurtuby, Sekretaris Jenderal Komunitas Nahdlatul Ulama di Amerika dan Kanada, ketika menjadi pembicara dalam acara Yap Thiam Hien Memorial Lecture di Solo, Rabu (27/4).<>

Kandidat doktor antropologi politik dan agama Boston University Amerika itu menjelaskan, jika para pelaku tindak kekerasan pada umumnya dilakukan oleh kelompok Islam ekstrim (bekerja sama dengan pemerintah dan aparat keamanan), maka para korban tindakan kekerasan ini bisa digolongkan sebagai “kelompok minoritas”: minoritas agama, minoritas sekte, minoritas aliran keagamaan, minoritas mazhab pemikiran dan seterusnya.

Meskipun kelompok “Islam ekstrim” (atau “Islam pentungan”) ini minoritas dari segi jumlah, kata Sumanto (sebab saya percaya mayoritas Muslim di Indonesia masih bersikap toleran seperti ditunjukkan dalam berbagai survei lembaga penelitian kredibel), akan tetapi mereka sangat solid dan militan.

Sementara itu kelompok moderat Muslim meskipun mereka membentuk “mayoritas” di republik ini tetapi mereka lebih banyak “diam” dan “cair”, bahkan tidak jarang antar mereka terlibat konflik internal (ini bukan berarti antarkelompok konservatif-radikal tidak ada konflik internal). 

Meskipun minoritas, kata dia peran “kelompok Islam ekstrim” dalam menciptakan diskursus keislaman juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Hal ini mengingat mereka memiliki komponen-komponen utama sebagai prasyarat sebuah ormas mapan jaringan yang cukup kuat -baik trans-local maupun internasional, pemerintah maupun non-pemerintah, sipil atau militer, dlsb—, media massa yang efektif, militansi, loyalitas, solidaritas global, dana, institusi-institusi modern, dlsb. Semua itu bisa digunakan sebagai “focal resources” untuk membentuk opini publik dan mendukung gerakan-gerakan keagamaan mereka.

Fenomena Lokal

Penting untuk diingat bahwa meskipun dalam banyak kasus kekerasan agama dan gerakan anti-pluralisme menunjukkan adanya pengaruh kuat gerakan Islam internasional seperti Wahabisme dan Salafisme tetapi tidak sedikit kasus-kasus kekerasan dan tindakan anti-pluralisme tadi murni “fenomena lokal”.

“Penting juga untuk dicatat bahwa kekerasan agama dan gerakan anti-pluralisme itu tidak semuanya berdimensi politik seperti banyak dipersepsikan banyak orang.”

Ada juga yang karena “dorongan keagamaan”, yakni untuk melakukan “purifikasi Islam” atau “puritanisasi ajaran” dari praktek-praktek keagamaan dan kebudayaan lokal yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad.

Meski begitu perlu diingat juga bahwa tidak semua kelompok puritan (termasuk “Islam puritan”) itu bersikap radikal dan pro-kekerasan.

Lebih lanjut ia menjelaskan, ada sejumlah kelompok puritan-konservatif yang peaceful dan tidak radikal. Juga perlu dicatat pula bahwa doktrin dan pemahaman wacana keagamaan saja—sekonservatif apapun—tidak cukup untuk membuat orang bersikap dan bertindak keras dan intoleran tanpa adanya aktor-aktor yang menggerakan dan memobilisasi aksi-aksi kekerasan tersebut.

Masa depan diskursus keagamaan dan kebangsaan di Indonesia ini—seperti yang telah dulas dengan baik oleh Robert Pringle dalam karya terbarunya, Understanding Islam in Indonesia—akan ditentukan oleh kelompok mana—moderat atau konservatif, progresif atau fundamentalis—yang akan memenangkan kompetisi pertaruran wacana di Tanah Air. (ccp)


Terkait