Warta

PCINU Mesir Kritisi Film Para Pencari Tuhan soal Ziarah Kubur

Kamis, 8 September 2011 | 01:01 WIB

Kairo, NU Online
Seni dan budaya di Indonesia sampai saat ini masih dilestarikan dengan baik, karena hal ini merupakan salah satu kekayaan dan kreatifitas yang dimiliki oleh anak bangsa. Salah satu bentuk kreatifitas tersebut yaitu dunia film. Pada dasarnya, film merupakan hiburan bagi para pemirsa namun dalam perkembangannya, dunia perfilman ini mulai dijadikan ajang mediasi untuk membentuk karakter penonton. Film-film yang mulai ditayangkan dikalangan masyarakat saat ini seperti komedi, keagamaan, sosial dan animasi.
<>
Pada bulan Ramadhan kemarin, stasiun televisi SCTV menyuguhkan tontonan sinetron keagamaan dibumbui dengan komedi, judulnya Para Pencari Tuhan (PPT). Film sinetron ini mendapatkan apresiasi dikalangan masyarakat, karena telah mampu memadukan agama dengan adegan-adegan komedi yang lakoni oleh Dedi Mizwar dan kawan-kawan, sehingga para pemirsa pun tidak jenuh menikmati tontonan tersebut. Namun, pada jilid kelima, dan diakhir tayang, ada hal-hal janggal yang terdapat dalam sinetron tersebut, semisal pemahaman tentang syirik ziarah kubur di makam Zulfikar Baharuddin atau akrab disapa Baha’ di desa Kincir dalam film tersebut.

Bertepatan dengan diselenggarakannya halal bi halal di kediaman Mukhlason Jamaluddin, Lc. pada hari Sabtu 3/9 kemarin, PCINU Mesir mengadakan bincang santai untuk menanggapi pemahaman ziarah kubur yang menjadi proyek Idrus Madani (pak RW) dalam sinetron tersebut.

Tobroni Basya selaku moderator, memberikan pengantar dalam bincang santai kali ini, “Tentu dalam sinetron tersebut memang bagus karena logika dialog yang disampaikan oleh lakonnya sangat kreatif, akan tetapi kutipan-kutipan dakwah dalam sinetron itu langsung mengambil pada sumber al-Qur’an dan Hadist dan tidak melandaskan penafsiran-penafsiran ulama-ulama klasik, sehingga seringkali terjadi pemahaman yang tekstualis,” ungkap mas Tob, sapaan akrabnya.

Karena waktu bincang santai hanya dibatasi dua jam, untuk menyingkat waktu, Tobroni Basya langsung mempersilahkan bapak Mukhlason untuk menyampaikan isi dalam sinetron PPT jilid 5 tersebut. Diawal pembicaraan, bapak Mukhlason mengapresiasi PPT karena telah mampu membentuk ciri khas tersendiri diantara beberapa film keagamaan di Indonesia. “ PPT mempunyai ciri khas, yaitu mengandung kawakan dan humoris sekaligus alami,” tuturnya.

Selain itu, menurut bapak Mukhlason, adegan-adegan yang ditampilkan dalam sinetron itu memang betul-betul alami. Anehnya diakhir jilid 5, terdapat isi cerita yang mengundang respon bagi kalangan Nahdlliyin Mesir. “Salah satunya yaitu pemindahan kurburan,” ungkap bapak Mukhlason.

Selajutnya, bapak Mukhlason juga menambahkan bahwa diakhir cerita yang diperankan oleh Asrul Dahlan menjadi tokoh antogonis, “Seakan-akan lakon Asrul dalam film tersebut dibenarkan oleh ibu Ustad (Suci Annisa),” pungkas Mukhlason dalam pengantar bincang santai.

Setelah bapak Mukhlason, bapak Saifuddin, MA. Juga memberikan pengantar bincang santai ini pada seluruh warga Nahdliyin di Mesir. Menurutnya, kalau melihat dari judul film tersebut mempunyai sebuah tujuan agar menjadi muslim yang baik. “Kita tidak bisa menghakimi yang terdapat dalam akhir cerita pada episode 5 yang diperankan oleh bang Jack,” ungkap bapak Saifuddin.

Namun sayangnya, tambah bapak Saifuddin, sering kali dalam film tersebut menvonis syirik, “Ini tidak sesuai dengan judulnya yang melebelkan PPT (Para Pencari Tuhan), seakan terkesan menjadi wakil tuhan (untuk menghukumi baik buruk seseorang),” tuturnya.

Meski mengandung unsur vonis syirik, bapak Saifuddin berkeyakinan pada warga nahdliyin yang berdomisili di kampung masih bisa diatasi oleh beberapa kiai untuk menanggapi film PPT.

Selepas memberikan pengantar dari dua pembicara, waktu kemudian dialihkan kepada warga nahdliyin yang hadir saat itu. “Di Mesir ini kalau bulan Ramadhan menjadi ajang musabaqoh film, tapi disini tidak terdapat film yang berbau keagamaan, kebanyakan dari film yang ditayangkan menyangkut masalah sosial, sebaliknya di Indonesia, film-film yang ditayang di stasiun televisi Indonesia saat ini berbau keagamaan,” tutur bapak Romli Syarqowi diawal tanggapan.

Bapak Romli juga memberikan apresiasi terhadap film yang ditayang di stasiun SCTV itu, menurutnya ada beberapa catatan dalam film PTT. “Disana ingin menampilkan film moral, Islam yang ‘aplikatif’ dan komedi,” ungkapnya.

Ia juga mengkritik terhadap film tersebut, kesan yang ia tangkap dari PPT terkesan menyampaikan Islam yang simbolik dan juga film itu juga butuh kritikan dari segi fiqh karena ada beberapa pemahaman yang disampaikan terkadang kurang sesuai dengan hukum fiqh.

Berbeda dari apa yang disampaikan oleh bapak Ramli, Anas selaku pengamat film menuturkan ada sebuah pencarian yang dilakukan oleh Dedi Mizwar. “Kalau kita mau melihat film-film yang sebelumnya, Dedi Mizwar juga pernah berperan sebagai Sunan Kalijaga,” Ungkapnya.

Lebih kekajian filsafat, Mun’im menjelaskan bahwa ide tidak pernah lepas dari realitas, ia menangkap dalam adegan-adegan yang ditayangkan dalam film PPT kemungkinan besar juga berangkat dari realitas masyarakat yang sering berziarah kubur akan tetapi dalam pemahaman yang keliru menurut pemahaman Dedi Mizwar dan rekan-rekannya.

Selaku coordinator Lembaga Bahsul Masail PCINU Mesir, Nova Burhanuddin memaparkan, “Kita melihat PPT hanya sebagai sinetron yang diwujudkan dari seni.”

Akan tetapi, tambah Nova, ada hal yang keliru dalam adegan itu. Menurutnya, ketika mengambil pendapat, sering kali mengambil teks al-Qur’an dan Hadist tanpa memberikan catatan pendamping para ulama klasik.

Untuk menengahi problematika perfilman ini, bapak Mahmudi Mukhson, MA. menyampaikan, yang terpenting adalah memberikan pemahaman tentang ziarah kubur bagi masyarakat awam di Indonesia.

Setelah Mahmudi menyampaikan beberapa patah katabapak Abdul Ghafur, Lc mengatakan agar tidak berlebihan untuk merespon film PPT. Dan, lanjut Ghafur, “Kita juga tidak bisa berhenti dalam satu titik celah dalam film tersebut.”

Mengakhir bincang santai, Saifuddin menyatakan bahwa ia sama sekali tidak ingin menghakimi film yang ditayang pada bulan Ramadhan itu, akan tetapi ia hanya khawatir efek pemahaman yang salah bagi orang awam.

Redaktur     : Mukafi Niam
Kontributor :Lihun


Terkait