Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan tidak sepakat dengan rencana mempersenjatai aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Wacana ini menguat menyusul dikeluarkannya Permendagri Nomor 26 Tahun 2010 tentang Penggunaan Senjata Api bagi Anggota Satpol PP.
”Wong tidak dikasih senjata saja begitu, apalagi punya senjata,” kata ketua PBNU H Arvin Hakim Thoha kepada NU Online di Jakarta, Kamis (8/7). Ia mengingatkan kembali perihal kerusuhan di makam Mbah Priok antara Satpol PP dengan masyarakat beberapa waktu yang lalu.<>
Menurutnya, alasan sanjata yang akan dimiliki Satpol PP hanya untuk berjaga-jaga atau untuk melindungi diri juga tidak bisa diterima, karena dengan membawa senjata itu sudah merupakan tanda bahwa Satpol PP akan menyelesaikan masalah dengan kekerasan.
”Dengan senjata itu sendiri berarti Satpol PP bekerja dengan pendekatan kekerasan. Padahal kekerasan ini hanya diperbolehkan untuk polisi pada kondisi tertentu,” katanya.
Mantan Ketua Dewan Koordinasi Nasional (DKN) Garda Bangsa ini menambahkan, kepemilikan senjata juga membutuhkan syarat dan proses perizinan yang cukup panjang. “Polisi saja sering sasaran, apalagi Satpol PP,” katanya.
Jika memang akan tetap dipersenjatai, katanya, maka pola pelatihan dan perekrutan Satpol PP harus sama seperti yang berlaku di institusi kepolisian. Jika tidak pemberian senjata untuk Satpol PP justru akan berbahaya bagi masyarakat.
Permendagri 26/2010 dikeluarkan sebagai tindaklanjut dari PP 6/2010 tentang Satpol PP. Jenis senjata yang dimaksud, sesuai Permendagri yaitu senjata peluru gas, semprotan gas, dan alat kejut listrik.
Sementara PP 6/2010 tentang Satpol PP, pasal 24 menyatakan, untuk menunjang operasional, Polisi Pamong Praja dapat dilengkapi dengan senjata api yang pengaturan mengenai jenis dan ketentuan penggunaannya berdasarkan rekomendasi dari Kepolisian Negara Republik Indonesia. (nam)