Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi, mengungkapkan, jalan menuju perdamaian di Pakistan semakin sulit. Ia mengungkapkan hal itu, menyusul tewasnya Benazir Bhutto, mantan perdana menteri negara tersebut.
”Upaya untuk mendamaikan Pakistan, sulit. Karena saling dendam masing-masing (kelompok/golongan),” ujar Hasyim kepada wartawan di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta, Jumat (28/12).<>
Presiden World Conference on Religions for Peace itu menjelaskan, di negara pimpinan Presiden Pervez Musharraf itu, kekerasan dan tindakan saling membunuh merupakan hal yang biasa dan seolah-olah sudah menjadi budaya.
Hal itu, lanjutnya, semakin diperparah masuknya pengaruh luar, terutama dari Afganistan. ”Itu ditambah dengan kekeruhan dari orang Afganistan yang masuk melalui Kandahar akibat serangan Amerika Serikat. Saat saya ke Pakistan, sehari sebelumnya, tempatnya orang Syiah dibom. Setelah itu, ganti tempatnya orang Sunni yang dibom,” katanya.
Hasyim berharap, publik Pakistan segera mengakhiri penggunaan cara-cara kekerasan dalam persaingan politik dan perebutan kekuasaan. Terbunuhnya Bhutto, politisi perempuan paling berpengaruh di Pakistan itu harus menjadi pelajaran berharga bagi rakyat dan umat Islam di Pakistan.
”Kemudian, kami berharap kepada kaum Muslimin di Pakistan, agar bisa berpikir, bagaimana menjalankan pemerintahan dan agama secara demokratis,” tutur Sekretaris Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu.
Bhutto dilaporkan tewas ditembak usai berpidato dalam sebuah kampanye partainya di Rawalpindi. Ini merupakan peristiwa tragis keempat yang menimpa keluarga Bhutto. Sebelumnya, pada 1979, ayahnya, mantan perdana menteri Zulfikar Ali Bhutto, tewas digantung rezim Muhammad Zia ul-Haq yang mengkudetanya. Hukuman ini dijatuhkan Jenderal Zia ul-Haq dengan tuduhan Ali Bhutto terlibat konspirasi untuk membunuh ayah politisi Ahmed Raza Kasuri.
Setahun kemudian, saudara laki-laki Benazir Bhutto, Shahnawaz, dibunuh di Prancis. Tahun 1996, saudara Benazir Bhutto lainnya, Mir Murtaza, juga tewas dibunuh. Seperti kematian Ali Bhutto, kematian Benazir Bhutto juga mengaduk-aduk perasaan banyak orang. Rakyat Pakistan marah, meradang, dan menangis. Bukan hanya karena mereka harus menyaksikan lagi tragedi yang menimpa keluarga Bhutto, melainkan karena kematiannya merupakan kehilangan besar bagi Pakistan.
Maklum, dia adalah simbol modernitas dan demokrasi di Pakistan. Bhutto tercatat sebagai perempuan pertama Pakistan yang berhasil menduduki jabatan perdana menteri, bahkan selama dua periode, yakni 1988-1990 dan 1993-1996. Ini adalah prestasi tersendiri karena bukan perkara mudah bagi perempuan di negara itu untuk menerobos kekuasaan yang telanjur didominasi politisi laki-laki. (rif)