Warta

Pak Ud: Kami Tolak Eks-PKI Jadi Capres dan Cawapres

Rabu, 10 Maret 2004 | 10:30 WIB

Jakarta, NU Online 
Pemulihan hak politik untuk menjadi caleg bagi mantan tahanan politik (Tapol) PKI dikhawatirkan merembet ke hak menjadi cawapres dan capres. "Kami tidak menentang  pemulihan hak dasar anggota PKI sejauh itu menyangkut hak perdata, hak dasar mereka sebagai warga negara. Mereka boleh menjadi anggota dewan karena angota dewan adalah hak aspiratif seluruh warga negara. Akan tetapi kami mencurigai hak itu akan mengarah ke hak untuk menjadi kepala negara, capres dan cawapres. Jelas  kami menolak tegas,"ujar KH Yusuf Hasyim kepada NU Online, Rabu (10/3) di Graha Nahdliyah PBNU Jakarta.

Sejumlah kiai pengasuh pesantren korban kekejaman PKI pada tahun 1965 akan berkumpul di PBNU Jumat (12/3) depan. Diperkirakan, sebagian besar yang datang adalah  putra korban untuk membicarakan berbagai isu sekitar pemulihan hak politik eks-tahanan politik PKI.  Beberapa pengasuh pesantren dari Termas Pacitan, Banyuwangi, Gontor  Ponorogo, Megelang, Magetan dan Jombang sudah menyatakan akah hadir.

<>

Menurut putra pendiri NU tersebut, pihaknya tidak keberatan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memulihkan hak eks-tapol PKI  dalam hal pencalonan sebagai anggota legislatif. Namun untuk menjadi pejabat publik apalagi untuk posisi sentral seperti capres dan cawapres, demi melindungi kepentingan publik harus ditolak.

"Soal representasi aspirasi tidak ada masalah. Di negara barat, bahkan ada perwakilan dari kelompok homo (gay-red) untuk memperjuangkan hak kelompok masyarakat tersebut. Kami setuju mereka punya aspirasi di lembaga perwakilan yang memang harus aspiratif. Ini semata-mata untuk kepentingan publik yang bermacam-macam aspirasinya.Dan demi melindungi keselamatan bangsa juga kalau kami menolak mereka sebagai pemimpin bangsa,"lanjut pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang ini.

Bagi Pak Ud, demikian akrab dipanggil,  keberatannya terhadap eks-tapol PKI untuk mencalonkan diri sebagai capres dan cawapres sudah dipertimbangkan dari berbagai aspek. Ia bahkan memobilisasi tokoh yang sependapat dengannya.

Gerakan penolakan ini, lanjutnya, tidak menyalahi hak siapapun. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membolehkan pelarangan tersebut.

"Kami tidak melanggar HAM dengan keberatan ini. Kita lihat  di Jerman, partai Nazi dilarang bercokol dan hak-hak anggota partai dicabut. Demikian juga di beberapa negara banyak yang memberlakukan kebijakan seperti itu. Pertimbanganya adalah untuk kepentingan umum dan  keselamatan bangsa,"jelasnya.

Ditambahkan, dalam hal kepentingan bangsa, suatu kelompok yang pernah melukai bangsa sekali saja, sudah dapat diberi sanksi. "Nah ini PKI sudah dua kali menusuk kita, pada tahun 1948 dan 1965, itu sudah cukup  bukti. Sekali berontak, sekali melakukan kekerasan terhadap bangsa, kita sudah harus mengambil sikap tegas. PBB pun membolehkan terhadap yang demikian,"tegasnya. (ma)

 


Terkait