Berbagai organisasi petani dunia berkumpul di Roma, Italia, Selasa (3/6) untuk meminta pemerintah dari berbagai negara yang sedang mengadakan pertemuan dengan Organisasi Pertanian dan Makanan PBB (FAO) untuk segera menyelesaikan krisis pangan.
Pada Pertemuan Pangan Dunia tahun 1996, FAO menyebutkan angka kelaparan mencapai 830 juta jiwa. Saat itu, FAO dan pemerintahan di berbagai negara mencanangkan untuk mengurangi angka kelaparan dunia hingga setengahnya pada 2015. Namun hingga saat ini, angka kelaparan malah bertambah menjadi 1,2 Milyar jiwa atau bertambah dua kali lipat.<>
La Via Campesina, salah satu organisasi petani dunia menilai, FAO dan pemerintahan di berbagai negara salah telah menempuh kebijakan yang keliru dimana penyelesaian persoalan kelaparan diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan sistem pasar bebas yang berlaku saat ini, distribusi pangan menjadi timpang, harga melambung meski sebenarnya produksi pangan dunia meningkat.
Hal tersebut dikarenakan, produksi dan distribusi pangan hanya dikuasai segelintir perusahaan multinasional dan berbentuk kartel. Di banyak negara, pemerintah tidak bisa melakukan perlawanan terhadap kerakusan perusahaan-perusahaan multinasional tersebut. Bahkan dengan adanya berbagai kesepakatan di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), perusahaan-perusahaan besar ini lebih leluasa untuk mengeksploitasi pangan rakyat untuk keuntungan semata-mata.
Koordinator La Via Campesina di Indonesia, Henry Saragih mengatakan rezim neoliberal sudah membajak pangan rakyat. Petani kecil, buruh tani dan masyarakat adat sudah tidak mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pangan lokal. Bahkan negara tidak bisa lagi menjalankan tugasnya untuk melindungi petani kecil dari serangan pangan murah yang dijual dengan harga dumping.
“Kami menolak campur tangan Bank Dunia dan WTO dalam masalah pangan,” kata Henry seperti dikutip situs www.spi.or.id. Dikatakannya, selama ini, rezim neoliberal lewat kebijakan pasar bebasnya sudah merusak tatanan pertanian dunia.
“Pasar bebas menyebabkan negara-negara miskin dibanjiri pangan murah, merusak kedaulatan pangan bangsa-bangsa dan menghilangkan hak-hak masyarakat lokal untuk mengembangkan dan menanam pangannya sendiri. Akibatnya pertanian lokal hancur, dan disaat harga pangan global naik, rakyat miskin tidak mampu lagi membeli pangan impor tersebut,” kata Henry. (nam)