Warta

Optimisme harus Tetap Ditumbuhkan

Jumat, 8 Oktober 2010 | 08:42 WIB

Jakarta, NU Online
NU berusia lebih tua dari republik ini, dan telah berhasil menghadapi tantangan zaman. Meskipun demikian, berbagai persoalan dan tantangan baru terus menghadang. Mampukah NU bertahan atau berkembang, pertanyaan seperti itu selalu muncul di benak para pengurus dan warga NU.

“Kalau tidak optimis, mengapa jadi pengurus,” kata kiai Abdul Manan.<>

“NU potensi jaringannya cukup, banyak kader-kader muda yang pinter, umatnya banyak, tinggal menyelesaikan penyakit-penyakitanya. Peyakit lahir gampang diobati, penyakit batin susah,” kata Syafiq Aleiha, Pimred NU Online.

“Kita diperintahkan untuk selalu optimis dalam menjalani kehidupan,” kata Kiai Abas Muin. 

Perubahan zaman membuat pola-pola hubungan paguyuban ala NU yang sangat erat seperti masa lalu menghadapi terpaan oleh sikap pragmatisme, ditambah godaan politik kekuasaan yang menawarkan gelimangan uang menjadi persoalan berat NU sebagai organisasi kemasyarakatan ini. 

“Untuk kepengurusan sekarang, kita ada komitmen bersama untuk meninggalkan area politik, cuma apa semua mampu menjaganya bagaimana kalau nanti di tengah-tengah jalan ada tawaran, kita tidak tahu,” kata Kiai Abas Mu’in.

Namun ia melihat kemajuan lain yang ditunjukkan adalah pengurus sekarang, yaitu lebih terbuka dan mau saling mengingatkan, termasuk ketika ketua umum keliru dalam mengambil sikap.

“Saya yakin kita bisa melakukan banyak perbaikan, tetapi tentu ini belum maksimal. Kalau ingin mengembalikan seperti dahulu, perlu waktu yang panjang,” paparnya.

Ia menambahkan, untuk menambah ilmu atau ketrampilan seseorang bisa dilakukan dalam waktu yang cepat, dalam satu atau dua tahun, sudah dihasilkan perubahan yang signifikan, tetapi untuk merubah orientasi perlu waktu yang panjang dan perjuangan berat.
 
Pola hidup konsumerisme yang melanda dunia juga menghinggapi komunitas pesantren yang dulu terkenal dengan pola hidup sederhana dan zuhud. Ia mengaku kini sulit melihat figur seperti Gus Dur, yang dalam periode ketiga kepemimpinannya (1994-1999) sebagai ormas Islam terbesar di dunia, masih naik bis umum dari Jakarta ke Rembang untuk mengunjungi Gus Mus.

“Islam harus mengikuti ajaran, bukan orang. Kita juga harus selalu punya harapan, berikhtiar sesuai dengan kamampuan kita dimanapun berada,” terangnya.

Ia menegaskan, persoalan yang dihadapi NU saat ini mesih berkutat pada persoalan ekonomi. Jika ini mampu diatasi, kemandirian NU dapat dilakukan dengan baik.

Sementara itu Syafiq melihat sekarang ini terjadi upaya penertiban organisasi, menuju organisasi yang lebih modern, tetapi disisi lain, suasana guyub yang dulu sangat kental kini mulai menghilang. Tak banyak kiai yang mampu melayani seluruh tamu-tamunya setiap saat. Kecerdasan sosial berupa keguyuban dan komunikasi informal yang mampu menggerakkan masyarakat yang dulu dimiliki ini pelan-pelan mulai memudar. Banyak generasi muda yang tak lagi mengerti NU dan tak mengidentifikasi diri dengan NU.

“Kita mungkin berusaha memperbaiki organisasi, termasuk audit organisasi. Kekhawatiran kita, jangan-jangan kita makin pintar berorganisasi, tetapi tidak semakin pintar mengurusi warga? Kita semakin tidak dekat. makin sedikit bergaul, bisa ngopi bareng, swarungan (bergaul). NU bertahan karena kecerdasarn tradisional, bisa bergaul. Hasrat merapikan organisasi bisa menjebak kalau kita hanya mengikuti kritik luar untuk menjadi modern,” tuturnya.

Kiai Abas mengiyakan perubahan zaman dan modernisasi seringkali menimbulkan efek yang tak baik bagi masyarakat. Ia mencontohkan, pada masa kecilnya, semua penduduk belajar mengaji, meskipun tak ada sekolah formal karena setiap alumni pesantren mengajar di rumahnya masing-masing. Tapi ketika didirikan sekolah ibtidaiyah formal yang harus membayar, tak semua anak sekolah karena tidak bisa membayar SPP.

Saat ini menurutnya merupakan masyarakat transisional, masih ada aspek komunalnya, tetapi disisi lain mulai muncul aspek rasional. Kuatnya aspek komunalitas ini bisa dilihat dari kuatnya organisasi buruh, tetapi ketika menjadi partai selalu gagal karena para buruh masih merujuk pada kelompok komunalnya, dengan memilih PDIP atau mengikuti Gus Dur.

“Kita tidak bisa sepenuhnya menggunakan manajemen modern, tetapi perlu pendekatan budaya dan kearifan lokal,” terangnya.

Sementara itu Kiai Abdul Manan berpendapat, kalau struktur NU, harus modern karena orang lain atau stakeholder NU menuntut demikian, tetapi hubungan dengan warga NU tak bisa diatur secara rasional saja (Bersambung). (mkf)


Terkait