Warta

NU Jangan Lagi Terkooptasi

Sabtu, 20 November 2004 | 04:03 WIB

Jakarta, NU Online
Anggota Fraksi PPP DPR-RI Ahmad Muqowam mengatakan perlunya Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan civil society di tengah pluralitas bangsa, untuk itu NU jangan di kooptasi dengan kepentingan politik. NU harus memposisikan diri sebagai kekuatan penyeimbang tidak malah larut dalam perebutan kekuasaan.

"Karena NU sebagai kelompok sosial memiliki posisi tawar sangat besar dalam penguatan civil society. Karena itu disayangkan jika NU kembali terkooptasi dengan urusan politik praktis dalam kepemimpinannya," ujar politis muda NU asal Salatiga ini kepada NU Online dalam perbincangan di ruang kerjanya beberapa waktu lalu.

<>

Dikatakan Muqowam, dalam perjalanan kepemimpinannya NU selalu mengalami pasang surut dalam berhadapan vis a vis dengan kekuasaan. Lahirnya pemimpin baru dalam kepengurusan Nahdlatul Ulama (NU) sangat menentukan masa depan bangsa dan peran ormas terbesar di negeri ini. Tidak ayal lagi kekuatan politik manapun tidak pernah meremehkan kekuataan yang dimiliki NU dalam menentukan konstalasi politik nasional. "Untuk itulah seringkali NU tak bisa lepas dari pergumulan politik," ujarnya.

Kenapa begitu ? Karena agenda perbaikan umat melalui gerakan ekonomi, pendidikan, pertanian, moralitas agama yang menjadi ciri utama NU terabaikan oleh godaan politik kekuasaan di tangan para pemimpinnya.  Untuk itu ke depan gerakan moral NU yang merupakan modal sosial harus mendapat perhatian nomor wahid bagi kepengurusan NU mendatang. Karena itu, ke depan NU diharapkan tidak menjadi kendali politik untuk kepentingan tertentu. Gerakan subtansial yang jauh lebih penting adalah memberikan pendidikan politik bagi bangsa ini tanpa terseret dengan politik praktis.

"Sebagai contoh Pemilihan Umum 2004 membuat posisi politik NU sangat lemah. NU sebagai organisasi masyarakat yang solid seharusnya tidak terseret dari perseteruan politik Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dan Pak Hasyim, ini patut disayangkan meskipun baik untuk pendidikan politik warga NU," papar mantan Ketua Sub-Komisi Perhubungan dan Telekomunikasi DPR-RI 1999-2004.

Disadari atau tidak, katanya secara moral, kepemimpinan NU bisa dikatakan cacat moral. Sebab, pimpinannya tergiring dalam kepentingan politik tertentu dan menjadikan NU sebagai kendaraan politiknya. Dan, itu dilakukan jajaran kepengurusan dari tingkat pusat hingga daerah. Persoalan itulah yang menjadikan nilai NU rendah. "Kalau Pak Hasyim berhasil menjadi cawapres mendampingi Megawati Soekarnoputri, misalnya, mungkin lain lagi ceritanya," kata Muqowam.

Pengalaman selama pemilihan presiden 2004 harus menjadi pelajaran dan cermin berharga bagi NU untuk menentukan peran dan posisi tawar NU yang lebih baik pada masa akan datang. Untuk itulah momentum Muktamar yang sebentar lagi digelar di Solo 28 Nopember-2 Desember mendatang harus benar-benar dimanfaatkan untuk melakukan konsolidasi internal dan internal dalam mempoisisikan NU ditengah pusaran arus berbangsa dan bernegara. "Forum muktamar harus mampu mengevaluasi kebijakan dan keputusan organisasi yang interpretable seperti keputusan-keputusan NU yang menyangkut politik praktis sehingga tidak lagi menimbulkan kebingungan warganya," demikian dijalaskan alumnus korcab PMII Jateng ini. (cih)


Terkait