Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi, tidak bisa selalu mengharapkan pada proses pengkaderan yang berjalan secara alamiah. Ia harus memulai mempersiapkan secara sistematis bagi lahirnya figur-figur yang dapat dijadikan pemimpin sekaligus pengelola organisasi di masa mendatang.
Demikian dikatakan Ketua Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang juga mantan anggota Fraksi PKB DPR RI, Abdullah Azwar Anas, saat menjadi narasumber pada Diskusi Reboan yang diselenggarakan harian Duta Masyarakat, di Jakarta, Rabu (21/10).<>
Menurut Anas, ada dua hal yang bisa dilakukan NU. Pertama, memaksimalkan peran badan otonom (banom) yang dimiliki NU untuk melakukan rekrutmen dan kaderisasi. Keberadaan banom semacam Ikatan Pelajar NU, Ikatan Pelajar Putri NU, GP Ansor, Muslimat, Fatayat, dan sebagainya, harus berada di bagian
terdepan bagi proses kaderisasi.
“Kalau banom itu dijadikan instrumen utama, maka yang menjalankan program-program NU adalah mereka (banom). Sehingga, NU hanya mengintegrasikan dari banom-banom yang ada itu,” terang Anas yang juga mantan Ketua Umum PP IPNU.
Kedua, lanjutnya, NU harus membuat instrumen ekstra yang lain seperti kursus-kursus singkat bagi kader-kader potensial untuk dipersiapkan menjadi pemimpin. “Kalau di negara, kan, ada Lemhanas (Lembaga Ketahanan Nasional). Nah, bagaimana caranya membuat Lemhanas-nya NU, untuk mempersiapkan pemimpin dan pengelola organisasi,” jelasnya.
Selain itu, khusus bagi kader yang sebelumnya telah memiliki modal keilmuan atau pemikiran, perlu juga diberikan kursus singkat keorganisasi. “Karena, ke depan, NU juga dihadapkan pada tantangan manajerial,” tandasnya.
Perhatikan politik-ekonom
Selain itu, NU juga harus mulai fokus memperhatikan bidang politik-ekonomi atau bidang-bidang yang berhubungan langsung dengan masyarakat di basis.
Forum bahsul masail (pembahasan masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan) yang menjadi tradisi keilmuan NU, sangat utama keberadaannya. Ia sesungguhnya sangat strategis sebagai alat untuk turut mengoreksi legal drafting atau pembahasan undang-undang atau peraturan daerah yang dibahas DPR dengan Pemerintah.
Anas mencontohkan permasalahan UU Migas yang belakangan diketahui bahwa legal drafting UU itu dibiayai Bank Dunia sebesar 200 juta dolar AS. “UU itu hanya ingin mengegolkan bagaimana caranya Pertamina itu yang menjadi kekuatan perlindungan, tetapi hanya menjadi operator biasa. Faktanya sekarang, 86 persen migas kita dikuasai asing,” terangnya.
Masih banyak hal lain yang bisa menjadi focus perhatian NU melalui forum bahsul masail-nya. Di antaranya, misal, UU Tata Ruang, UU Kesehatan, hutan lindung di luar Jawa yang telah banyak difungsikan untuk keperluan-keperluan lain, dan sebagainya.
Dengan demikian, ormas Islam terbesar di Tanah Air ini, tidak selalu disibukkan dengan perdebatan-perdebatan yang sifatnya wacana atau pemikiran. Forum bahsul masail juga harus menyentuh persoalan-persoalan aktual yang dihadapi bangsa yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hal tersebut, imbuh Anas, sesungguhnya sudah pernah dilakukan NU. Misalkan, bahsul masail tentang pelestarian lingkungan hidup dalam Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, pada 1994. Namun, hal itu tidak diselaraskan dengan pembahasan UU yang legal-formal di DPR. (mad)