Muslim Mindonao yang juga dikenal sebagai bangsa Moro yang tinggal di Philipina Selatan mendambakan adanya perdamaian dan peningkatan kesejahteraan setelah konflik yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun.
Demikian dikatakan oleh Dr Amina Rasul, salah seorang intelektual muslim perempuan dari Philipina dalam dialog dengan Fatayat NU di Gedung PBNU, Jum’at (12/3).<>
Dikatakannya, berbagai perjanjian sudah ditandatangani dengan pemerintah, termasuk pemberian status semi otonom bagi komunitas muslim untuk mengelola wilayahnya sendiri. Sayangnya, dukungan finansial untuk mendorong kemajuan daerah tersebut sangat tidak memadai, berbeda dengan daerah yang dihuni oleh masyarakat pemeluk Katolik sehingga pemberontakan terus berlangsung.
“Tingkat buta huruf dan kematian tertinggi ada di daerah muslim, mereka miskin dan terabaikan,” katanya.
Jika ditilik dari sejarahnya, wilayah Philipina sebelumnya merupakan daerah yang dihuni oleh kaum muslim, melalui dakwah dengan jalan damai sebagaimana yang terjadi di wilayah Asia Tenggara lainnya, yang dilakukan oleh para pedagang Arab pada abad ke 14 M.
Selanjutnya datang penjajah Spanyol yang mengeruk kekayaan negeri tersebut dan memerangi kaum muslim, yang akhirnya terkonsentrasi di wilayah Mindonao yang diperintah oleh sultan-sultan muslim. “Muslim Mindonao sejak dulu independen dari para penjajah. Mereka tidak mau tunduk, baik kepada Spanyol maupun Amerika,” terangnya.
Dijelaskannya, berbagai upaya licik dilakukan oleh Amerika Serikat, yang memasukkan wilayah Mindonao dalam wilayah Philipina, meskipun tidak mau tunduk. “Muslim bertekad lebih baik mati daripada diperintah orang lain,” imbuhnya.
Meskipun Mindonao dikenal sebagai wilayah muslim, saat ini sebenarnya umat Islam sudah menjadi minoritas dan sebagian besar tanah-tanah dikuasai oleh non muslim yang datang berbondong-bondong ke wilayah tersebut. “Kepemilikan tanah muslim dulu tidak tercatat sampai akhirnya diokupasi oleh fihak lain,” terangnya.
Kekecewaan terhadap perlakukan pemerintah akhirnya mendorong sejumlah pemuda militant yang dipimpin oleh Nur Misuari untuk medirikan Moro National Liberation Front (MNLF) yang melakukan perang gerilya guna memperjuangkan kemerdekaan. Namun saat kelompok ini menyetujui perjanjian perdamaian tahun 1987 untuk memperoleh pemerintahan semi otonom, kelompok garis keras yang dipimpin oleh Slamah Hasyim menolak dan mendirikan Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang bercita-cita mendirikan negara Islam.
Nasib muslim Moro semakin teraniaya setelah peristiwa pengeboman WTC 11 September di Amerika Serikat yang menjadikan stigma teroris bagi muslim. Pasukan pemerintah melakukan penyerangan yang membabi buta dan menyebabkan kematian bagi orang-orang yang tak bersalah.
Masih panjang jalan yang harus dilalui oleh muslim Moro untuk mendapatkan perdamaian. Rezim saat ini yang dipimpin oleh Presiden Arroyo dinilainya telah membuat kebijakan dan perlakuan yang buruk, terbukti dengan melakukan penyerangan besar-besaran pada Agustus 2008 yang menimbulkan korban besar setelah kegagalan perjanjian pemberian otonomi penuh kepada bangsa Moro.
“Kita berharap agar Arroyo tidak terpilih lagi melalui upaya rekayasa UUD karena orang disekitarnya sangat korup dan merugikan umat Islam,” tandasnya. (mkf)