Jakarta, NU Online
Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan prihatin atas kasus yang menimpa Yayasan Pendidikan Karya Sang Timur, di Kompleks Departemen Keuangan, Kelurahan Karang Tengah, Ciledug, Tangerang, yang berakibat timbulnya konflik dengan warga sekitar.
"Konflik itu merupakan refleksi dari kesalahpahaman, dan miskomunikasi," kata Sekretaris MUI, Din Syamsuddin, seusai bertemu dengan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni, di Jakarta, Selasa (26/10).
<>Dikatakan Din, di negara yang pluralis seperti Indonesia, perlu diberikan kesempatan kepada setiap masyarakat untuk menjalankan ibadah. Namun, ada tenggang rasa terhadap kelompok lainnya, sehingga tidak menimbulkan prasangka.
Untuk itu, Din meminta semua masyarakat menahan diri terhadap tindak kekerasan dan langkah-langkah anarkis termasuk pemaksaan kehendak dari kelompok tertentu. Kericuhan yang terjadi di Sekolah Sang Timur bermula ketika warga setempat terlibat perselisihan dengan pihak yayasan soal pembangunan gedung serbaguna di Sang Timur yang digunakan untuk peribadatan umat Katolik.
Warga sekitar akhirnya menutup akses ke Sang Timur dengan membangun tembok menuju jalan utama yayasan itu. "Seharusnya keluhan umat Islam juga didengar, isu penyiaran agama itu sensitif dan rawan ," kata Din. Soal itu, katanya, sebenarnya sudah ada SK Menteri No.7071, yang mengatur tentang Penyiaran Agama kepada Umat yang sudah beragama termasuk pendirian tempat ibadah.
Sementara itu, Ketua MUI, Umar Shihab, meminta masyarakat jangan melakukan hal yang bertentangan dengan agama, dengan melakukan hal-hal yang justru menimbulkan kerawanan baru. "Kan, peraturannya sudah ada, tentang pembangunan tempat ibadah. Antara lain kalau masyarakat menolak, jangan dipaksakan," katanya. Sedangkan Menteri Agama, M. Maftuh Basyuni mengatakan pihaknya sudah memanggil pihak terkait untuk menyelesaikan kasus itu, termasuk Dirjen Katolik, Depag.
Tolak Parcel Lebaran
Di tempat yang sama Menteri Agama (Menag) Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan mendukung usul ICW yang melarang pejabat menerima parsel lebaran. Sikap tersebut merupakan bentuk penolakan terhadap pemborosan."Saya kira pelarangan mengenai parsel bagus karena itu kan pemborosan." ungkapnya.
"Pokoknya tidak perlu sistem parsel-parselan itulah," tegasnya. Sebelumnya, ICW berpendapat pemberian parsel berpeluang membuka terjadinya penyuapan. Untuk itu, ICW meminta pemerintah membuat aturan tentang batas maksimum nilai parsel yang boleh diterima.
ICW mengusulkan agar nilai parsel yang masih bisa diterima pejabat di bawah Rp 500 ribu. Hal ini dimaksudkan sebagai usaha pemberantasan korupsi.(atr/cih)