Warta

Mereka Bicara Tentang Korupsi

Selasa, 18 November 2003 | 09:35 WIB

Malang, NU.Online
Dulu ketika jasad Prof. Dr. Haji Baharuddin Lopa diturunkan ke liang-lahat, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, se-buah poster tampak di keramaian pengantar: "Matinya Lopa bukan matinya keadilan." disaat ia dengan gigih berjuang memberantas kasus korupsi para koruptor kakap.

Dalam suasana "normal", poster begini mungkin boleh dianggap retorika ringan kaum demonstran yang memanfaatkan momentum apa saja untuk unjuk rasa. Tapi, ketika poster itu dikerek di sebuah negeri tempat hukum sudah lama takluk di tangan uang dan kuasa, dan si mati adalah satu dari "makhluk langka" yang mencoba mengangkat kembali martabat hukum itu, jelas tersirat nada kekhawatiran yang dalam di poster itu.

<>

Dan itu mewakili kekhawatiran kita semua: jangan-jangan yang dikuburkan di Kalibata itu adalah orang terakhir yang kita miliki untuk membasmi "kerajaan korupsi". Korupsi, "budaya" kita itu, sudah membuat negeri ini "merebut" gelar juara ke-empat korupsi sedunia tahun ini versi Transparency International. Itu bukan gelar pertama kali. Negeri ini sudah sesak napas ditimbuni piala juara korupsi dari berbagai lembaga dunia, tahun demi tahun. Maka, tatkala jasadnya ditimbuni tanah, kita menduga-duga: jangan-jangan upaya pemberantasan korupsi pun ikut terkubur bersama Baharuddin Lopa.

Namun, sebagai bangsa kita masih menyisakan harapan,dengan tampilnya dua organisasi besar, yang dengan gigih menyuarakan kejam dan nistanya kejahatan korupsi yang tengah melanda negeri ini baik di pemerintahan, penegak hukum maupun masyarakat.

"Sebenarnya tidak harus NU atau Muhammadiyah yang memulai, tetapi sistem yang ada, namun karena sistem itu sendiri sudah tidak berfungsi, maka mau tidak mau kita harus bergerak dan berjuang dimana perjuangan itu tidak akan ada akhirnya," tegas Ketua PBNU, KH. Hasyim Muzadi

Menurutnya yang pertama kali ditata dan diteguhkan adalah nita kita dalam upaya memberantas korupsi. Ini sangat penting. "Niat dan nawaitu kita adalah untuk menyelamatkan bangsa karena kalau ini terus berlangsung, negara kita bisa ambruk dan tenggelam. Dan dalam hal ini, Allah tidak akan membedakan apakah mereka koruptor atau tidak, semua kena azab," tambahnya.

Bahwa kita hampir putus asa memang benar, setiap gerakan-gerakan yang ada selalu gagal karena tidak diimbangi dengan tantangan yang dihadapinya, tetapi kalau kita biarkan, baik yang korupsi atau tidak akan mendapat azab Allah secara bersama-sama.

Dengan dasar inilah NU dan Muhammadiyah berusaha berbuat sesuatu dan ini merupakan gerakan anti korupsi yang paling terakhir yang ada. “Sebenarnya bukan hanya NU dan Muhammadiyah yang berkewajiban, tetapi aparatlah yang berkewajiban, tetapi karena  semuanya tidak pernah jalan, makanya kita tidak bias membiarkan ini terus berlanjut, disinilah masalahnya,” ungkapnya.

Untuk itulah kita jangan berfikir bahwa gerakan pemberantasan korupsi adalah gerakan sekali jadi. Ini adalah sebuah perjuangan tiada akhir, tetapi kita harus menentukan dari mana kita memulai. Kita memulainya dari gerakan moral dan beberapa tokoh agama lainnya juga menyatakan kepada saya mengapa kita tidak diberi tahu. Pada akhirnya tentu saja akan diberi tahu karena ini adalah bagian dari gerakan moral bangsa.

Kenapa ini dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah, "karena yang paling malu adalah kami sebagai organsiasi besar di negeri yang paling korup ini," imbuhnya. Gerakan ini akan melebar ke bawah, tetapi untuk pertama kalinya, seluruh kekuatan di NU, baik structural maupn cultural harus digerakkan bersama-sama untuk melakukan gerakan korupsi melalui media yang kita punya, seperti tabligh, bahtsul masail, dakwah, pengajian, atau kampanye-kampanye yang lain. Kita harapkan Muhammadiyah juga melakukan hal yang sama. Maka jika ini dilakukan secara bersama-sama, pemberantasan korupsi akan berhasil. Seluruh agama akan kita minta berteriak secara moral guna menghilangkan korupsi di Indonesia.

Dan selanjutnya dari gerakan moral tersebut dapat mendorong law enforcement, kita tahu bahwa pejabat-pejabat kita habis nyalinya untuk melawan korupsi. Mudah-mudahan dengan gerakan moral yang dilakukan masyarakat, mereka kembali ke nurani hukum yang benar.

"Hari ini kalau ada orang kecil yang salah, maka ia kena hukuman, tetapi jika ada orang besar yang salah, mereka bertanya, berapa harga pasal itu. Ini adalah satu ironi yang luar biasa, bahkan saya memiliki teman yang ketakutan ditempatkan dalam departemen pemberantasan korupsi. Ia tahu bahwa ia akan menghadapi tembok tebal, bahkan mungkin menghadapi dirinya sendiri," terang mantan ketua PWNU Jatim ini.

Setelah law enforcement ini jalan maka negara harus melindunginya dengan adany


Terkait