Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Muchit Muzadi (Mbah Muchit) menyatakan keinginannya untuk menjadi warga NU yang polos.
“NU yang polos adalah NU saja, tidak dilabeli oleh partai tertentu. Bahkan, apa-apa yang ia lakukan, semata-mata karena suruhan NU,” katanya di depan 200 lebih anak-anak SMA dan Aliyah se-Kabupaten Jember, Ahad (21/9) kemarin.<>
Mbah Muchit sempat menceritakan biografi singkatnya, misalnya ia pernah masuk dan keluar masyumi di tahun 50-an. Demikian juga saat ia masuk PPP. Semuanya dilakukan karena NU. Ketika PBNU membidani kelahiran PKB, Mbah Muchit juga menjadi salah satu deklaratornya.
Kontributor NU Online MN Harisudin melaporkan, acara yang digelar oleh Pengajian Birrul Walidain, Pergunu, Jam’iyyatul Qurra’ wal Huffadz, IPNU dan IPPNU Jember itu berlangsung khidmah. Sejak jam 08.30-11.00, peserta mengikuti ceramah dan dialog bersama kakak kandung Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi itu.
Ceramahnya yang khas dan diselingi humor menjadikan peserta sangat atunsias mendengar materi tersebut. Aula Pepabri Jember sesak dengan peserta yang sejak pagi mendengar uraian Mbah Muchit.
Ketika menjelaskan Khittah NU, Mbah Muchit mengkritik orang yang seenaknya bicara tentang Khittah, meski sesungguhnya ia tidak banyak mengerti tentang Khittah. Khittah bagi sesepuh NU ini, juga tidak seketat yang dibayangkan orang. Klausul Khittah menyebutkan NU secara jam’iyyah tidak terikat dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan yang lain.
“Khittah saat itu dibuat untuk kepentingan NU. Tidak mungkin Khittah dibuat bertentangan dengan NU,” kata Kiai Nyentrik yang juga ikut menjadi salah satu perumus Khittah tahun 1984 bersama Almarhum Kiai Achmad Shiddiq.
Sementara itu, dalam menyikapi perbedaan di bulan Ramadlan ini, Mbah Muchith memberikan arahan untuk bersikap toleran. “Kalau ada orang kritik shalat Idul Fitri, lebih baik di masjid atau lapangan, saya balik tanya, kamu itu puasa apa tidak.” Sontak peserta jadi geer.
Bagi Kiai Muchith, yang jauh lebih penting adalah puasanya. Karena shalat Idul Fitri hukumnya hanya sunah, sementara puasa itu wajib. Hanya saja, toleransi dalam perbedaan ada batasnya.
“Kalau perbedaan ini sudah melanggar aturan pakemnya, tidak ada lagi toleransi. Ini namanya aliran sesat”, ujar Mbah Muchit. “Misalnya, Ahmadiyah, mereka yang shalat dengan dua bahasa, dan sebagainya,” tambahnya. (nam)