Warta

Masdar: Tantangan NU ke Depan Semakin Berat

Ahad, 25 Oktober 2009 | 01:48 WIB

Jakarta, NU Online
Tantangan yang dihadapi NU dalam situasi sosial politik saat ini jauh lebih berat dibandingkan saat NU melakukan redefinisi diri ketika menetapkan khittah tahun 1984 akibat tekanan penguasa orde baru.

“Semangat meneguhkan kembali khittah semakin kuat, tetapi upaya redefinisi dan revitalisasinya sekarang jauh lebih berat,” katanya dalam penyampaian visi misi NU ke depan dihadapan Pengurus Cabang Istimewa NU yang berkumpul di Bogor, Sabtu (25/10).<>

Pada masa lalu, persoalannya hanya satu arah, yaitu hubungan NU dan kekuasaan yang kurang harmonis. NU merupakan satu-satunya kekuatan sipil yang tak dapat ditaklukkan oleh Orde Baru karena adanya etos keulamaan yang secara psikologis tidak mau dijadikan subordinat oleh penguasa.

“Tantangan sekarang datang dari segala arah, termasuk dari dalam sendiri,” jelasnya.

Yang menjadi keprihatinannya adalah masih tingginya keterlibatan NU dalam perebutan kekuasaan. Penguurus NU dari seluruh tingkatan masih terlibat, jika tidak menjadi calon dalam pilkada juga menjadi tim suksesnya.

“Hubungan NU dan kekuasaan harus dibenahi dan diberi kerangka yang jelas,” tandasnya.

Jika pada masa lalu, loyalitas umat pada kiainya masih tinggi, situasi sekarang sudah berubah total dengan penurunan dukungan yang signifikan. Bahkan partai yang didukung oleh kiai-kiai yang sangat dihormati di NU perolehan suaranya hanya ‘nasakom’ (nasib satu koma persen).

“Dawuhnya kiai sudah tidak lagi mengikat batin ummat, ini persoalan serius,” lanjutnya.

Kekalahan-kekalahan politik yang dialami oleh NU ini telah menimbulkan demoralisasi dikalangan warga NU. Banyak orang kini lebih suka mengakui dirinya sebagai NU kultural daripada mendefinisikan diri sebagai bagian dari NU organisatoris.

Menurutnya, untuk memperbaiki semua ini, agenda organisasi yang harus dijalankan adalah memelihara hal-hal baik yang sudah berjalan dan selanjutnya mengkonsentrasikan diri pada permasalahan ekonomi, pendidikan dan pengembangan pemikiran keagamaan, sebagai ciri dari organisasi keulamaan sehingga terjadi dinamika dan kebaharuan dalam berfikir.

“Keilmuan itu bukan hanya menghafal tradisi, tetapi menghasilkan sesuatu yang baru,” jelasnya.

Potensi NU untuk bisa berkembang masih sangat besar karena 50 persen umat Islam Indonesia yang belum mengidentifikasi identitasnya masih sangat mungkin untuk disapa dan dirangkul mengingat tradisi yang dijalankannya adalah tradisi NU. (mkf)


Terkait