Rais syuriyah PBNU KH Masdar F Mas’udi berpendapat sistem pemenjaraan untuk menghukum para koruptor, pelanggar hukum dan pelaku kriminal telah gagal mewujudkan sebuah perubahan atau mengembalikan ke jalan yang benar. Upaya jera ini bukan hanya kepada yang bersangkutan, tetapi juga masyarakat lain menjadi takut untuk melanggar hukum.
“Penjara tujuan pertama untuk membikin kapok, tujuan sekundernya untuk membuatnya kembali ke jalan yang benar. Harus dilihat dan diteliti betul, sejauh mana sebenarnya sistem pemenjaraan kita sudah mencapai hal itu. Kalau ternyata tidak membikin orang kapok, ya tidak berhasil,” katanya kepada NU Online, Kamis (6/5).<>
Upaya pemidanaan kepada para koruptor sampai saat ini tak berhasil, terbukti para koruptor baru terus bermunculan. Karena itu, rencana membikin penjara khusus untuk para koruptor tidak akan menyelesaikan masalah.
“Jadi sistem pemenjaraan di negeri ini gagal total, jadi kalau tiba-tiba nambah jumlah penjara, hanya menambah kegagalan saja,” tandasnya.
Menurutnya harus dicari betul, apa yang membuat terpidana kapok, baik yang bersangkutan maupun masyarakat, dan kedua, membikin masyarakat sadar untuk menjadi lebih baik.
“Jadi jangan tiba-tiba membikin penjara kelas ini atau itu, mumpung ada dananya atau dicarikan dananya tetapi tidak jelas, nawaitunya untuk apa. Sekedar cari proyek atau apa,” paparnya.
Pembuatan penjara khusus untuk koruptor, dengan alasan penjara biasa kurang nyaman atau privasinya kurang terjaga malah bisa membikin para koruptor betah, nyaman aman dan sentosa. “Gimana sesungguhnya pemerintah ini, apa mau memproyeksikan dirinya kalau kena kasus juga nantinya, bahasa Jawanya kalau tepak awak," terangnya.
Menurutnya, yang paling ditakuti para koruptor adalah kehilangan harta, karena itu salah satu alternatif untuk menghukum koruptor adalah menyita hartanya sebanyak-banyaknya, minimal senilai korupsi yang sudah dilakukannya.
Selanjutnya, upaya lain untuk mencegah terjadinya niat melakukan korupsi adalah memberlakukan sistem pembuktian terbalik, terutama pada para pejabat negara yang sumber pemasukannya jelas.
Tak hanya para para koruptor, upaya rehabilitasi melalui penjara bagi pelaku kriminal seringkali malah menimbulkan efek sebaliknya. Di penjara mereka dapat ketrampilan baru dan jaringan baru.
Hal yang sama juga berlaku pada penjara narkotika yang malam membuat jaringan bisnis didalam penjara.
“Kemudian narkoba, ya harus ada perombakan total, faktanya mereka bisa bisnis obat terlarang dari dalam, Bagaimana mungkin narapidana bisa bisnis narkotika kalau bukan kolusi dengan fihak yang punya kekuasaan,” tandasnya.
Kesalahan yang sama terjadi pada pencampuran pelaku kejahatan terorisme dengan pelaku kriminal biasa didalam penjara karena teroris bisa menyebarkan virus ganasnya di penjara.
“Semestinya harusnya diisolasi, virus ideologi malah lebih ganas, malah dicampur dengan terpidana lain, disana malah menjadi ustadz, gimana itu. Ngak nahar menurut saya,” terangnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk memberi hukuman adalah kerja sosial yang lebih manusiawi dan lebih memberi manfaat kepada negara dan masyarakat dengan catatan sistem keamanannya bagus sehingga mengurangi terjadinya risiko pelarian, kecuali untuk terpidana terorisme.
“Lebih manusiawi, dengan dipekerjakan, maka terpidana secara psikologis juga lebih sehat karena berhubungan dengan alam, daripada nongkrong terus. Kan sekarang banyak program penghijauan. Jutaan tanah gundul, itu kan bisa saja mereka dipekerjakan, tinggal pengamanannya,” paparnya.
Selama dipekerjakan sebagai, terpidana juga berhak mendapat perlakuan yang wajar, meskipun tak digaji, tetapi makannya lebih baik. “Yang bersangkutan juga bisa refleksi juga tidak mengalami sakit jiwa, bangsa dan masyarakat juga mendapat manfaat yang mereka lakukan, dan lebih murah daripada membangun penjara konvensional, bukan hanya masalah finansial, tetapi juga masalah sosial,” imbuhnya.
Untuk usulan hukuman mati buat para koruptor, ia menilai ini bisa dilakukan jika pelakunya melakukan korupsi yang luar biasa.
“Rakyat kita tidak bisa hidup secara wajar ini sebagian besar karena fasilitas dan kekayaan negera diambil oleh mereka. Teorinya, apakah betul orang yang bersalah sudah dihukum dan yang tak bersalah tak dihukum, jadi ini kembali pada moral dari para penegak hukum,” katanya. (mkf)