Masdar Dukung Penutupan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
Senin, 25 Oktober 2004 | 03:30 WIB
Jakarta, NU Online
Wakil Katib PBNU Masdar F. Mas’udi sangat setuju dengan penutupan counter legal draft kompilasi hukum Islam karena dinilai hanya menimbulkan kontraversi yang tidak produktif.
Kalau pakai hukum Islam yaa harus pakai logika penalaran hukum Islam. Islam kan hukum yang mendasarkan diri pada nash, harus konsisten karena ia mensubordinasi pada Islam, kalau tidak ya pakai istilah hukum saja, dengan demikian, mereka boleh berfikir sebebas-bebasnya,” tandasnya.
<>Masdar menjelaskan beberapa permasalahan yang menimbulkan kontraversi seperti tentang hak waris. Kondisi ini harus dipahami konteksnya, sampai sekarang dinegara modernpun suami yang bertanggung jawab mencari nafkah dan kalau cerai, istri juga minta bagian dari suami, bukan sebaliknya.
“Jadi de facto maupun de jure, yang menanggung nafkah kan suami. Bukan berarti perempuan tidak boleh bekerja boleh. Kalau yang nanggung nafkah suami, harus ada sumber pendapatan yang lebih, dalam hal ini adalah waris. Kan sebetulnya untuk istri juga,” tambahnya.
Berkaitan dengan masalah hak cerai, Masdar berpendapat selain masalah emosional, suami memiliki tanggung jawab memberikan mut’ah (pesangon). Dijelaskannya setelah perempuan diberi hak untuk menggugat data statistik menunjukkan gugatan cerai yang diinisiatifi oleh istri jauh lebih besar daripada yang dilakukan suami.
“Suami akan berfikir lebih panjang daripada istrinya. Kenapa Islam agak mengerem cerai dan yang mengerem suami, yaa karena cerai kan menyakitkan dan yang jadi korban kan perempuan. Jadi sebetulnya dha ada yang salah kalau kita memahami dengan jernih,” tambahnya.
Direktur P3M tersebut berpendapat bahwa fungsi negara hanya dari sisi pencatatannya. Namun demikian, nikah bukan sekedar tindakan seorang warga negara. Nikah adalah tindak manusia sehingga beyond secular dimension dan bermakna ibadah.
“Itulah sebabnya saya mengatakan pernikahan dengan tata cara agama merupakan hak pribadi. Jadi kalau agama yang dianut mensyaratkan begini yaa ikuti, negara hanya mencatat saja. Kalau si A dan B sudah sah secara agama, negara hanya berhak mencatat. Jadi nikah hanya sah ketika dicatatkan yaa tidak masuk akal. Negara tidak berhak menyatakan sah atau tidak. Sahnya kan menurut si pelaku dengan agama yang dianutnya,” tegasnya.(mkf)