Lembaga Seniman dan budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) lahir tahun 1960-an sebagai bentuk perlawanan komunitas NU terhadap upaya lembaga kebudayaan PKI, Lekra dan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan menawarkan nilai-nilai kebudayaan yang religius berbasis Islam.
Perubahan situasi politik dari Orde Lama menuju Orde Baru menyebabkan Lesbumi mengalami kevakuman cukup lama sampai pada akhirnya, pada muktamar ke-31 NU di Donohudan Solo, Lesbumi diputuskan menjadi salah satu lembaga NU.<>
Kemunculan Lesbumi saat ini, menghadapi tugas yang sangat berat dengan kuatnya cengkeraman dan hegemoni kebudayaan Barat yang liberal dan munculnya kebudayaan yang mengarah pada fundamentalisme agama.
Agus Sunyoto, wakil ketua Lesbumi dalam rapat kerja Lesbumi yang berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Rabu, mengatakan, ia mengamati dengan seksama perubahan orientasi pemikiran masyarakat, salah satunya ditunjukkan dengan perubahan nama pada anak-anak mereka yang sekarang berorientasi Barat, bukan nama lokal.
Tahun 1985, ia pindah ke Malang, kala itu, nama-nama anak masih bernama lokal seperti Joko, Markonah dan lainnya, tetapi belakangan, nama sudah berubah menjadi Gabriel, Adelia dan lainnya.
Demikian pula, struktur kekerabatan secara antropologis juga berubah, generasi masa lalu menyebut bapaknya mbok, bapak, kemudian menjadi mak dan bapak dan sekarang sudah berubah menjadi papa dan mama, layaknya orang Barat memanggil keluarganya.
“Perubahan terjadi tanpa terasa, ada kesan sesuatu yang berasal dari Barat superior, yang lokal inferior. Pergi ke warung kesannya beda jauh dengan ke kafe,” katanya.
Selanjutnya, ini memiliki dampak terhadap kesenian lokal yang tumbuh dan berakar di masyarakat, yang dianggap kurang bermutu sehingga kurang peminatnya, yang hanya diminati kalangan grass root, jaran kepang, ketroprak, kalah dengan band dan opera. Superioritas ini juga menyangkut aspek kecantikan, bintang sinetron yang digemari adalah yang keturunan indo.
Sementara itu disisi lain, terjadi upaya fundamentalisasi yang serba Arab. Yang tak sesuai dengan budaya Arab dianggap sebagai bid’ah atau haram. Pakaiannya harus surban. Budaya merokok diharamkan, tetapi menghirup shisha tetap diizinkan.
“Disinilah Lesbumi dibentuk sebagai jalan tengah, mendukung nasionalisme dan kebhinekaan, jangan sampai dibawa terlalu liberal atau fundamental,” imbuhnya. (mkf)