Warta

Krisis Pangan Bisa Diatasi dengan Pembaruan Agraria

Senin, 9 Juni 2008 | 11:57 WIB

Jakarta, NU Online
Krisis pangan yang telah menyebabkan kelaparan pada 862 juta jiwa di dunia bisa diatasi dengan meningkatkan produksi pangan melalui pembaruan agraria dengan membagi-bagikan tanah kepada petani.

Penegasan pentingnya pembaruan agraria ini kembali diungkapkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) dalam pertemuan dengan wartawan di Jakarta, Senin (9/6).<>

Untuk kasus Indonesia, saat ini para petani rata-rata hanya memiliki 0.3 hektar lahan sedangkan sebagian lainnya hanya menjadi buruh tani. Kenaikan harga hasil pangan yang mereka produksi yang mereka dambakan tak banyak menguntungkan mereka karena hanya dinikmati oleh para perusahaan perkebunan yang menguasai lahan luas.

Program transmigrasi yang dilakukan oleh Orde Baru sebenarnya bisa dikatakan sebagai reformasi agrari karena setiap satu keluarga transmigran akan mendapatkan tanah seluas 2 hektar dan rumah secara gratis.

“Sayangnya, lahan yang dibagikan tersebut bukan lahan yang subur dan jauh dari sarana infrastuktur sehingga hanya 30 persen transmigran yang sukses, 70 persen sisanya gagal,” paparnya.

Di lokasi-lokasi yang kurang subur, petani akhirnya putus asa dan beralih pekerjaan menjadi buruh di perkebunan yang mendapatkan tanah paling baik. Ia mencontohkan di Sumatra Utara, daerah asal kelahirannya, meskipun harga tandan kelapa sawit naik sampai empat kali lipat, buruh tetap menderita karena gajinya tidak naik sementara pengusaha untung besar.

“Parahnya lagi, uang hasil dari perkebunan di Indonesia itu simpan di Singapura,” tandasnya.

Upaya lain agar krisis pangan bisa diatasi adalah dengan membebaskan para petani untuk menanam komoditas yang mereka produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik, komunitas dan kepentingan nasional.

“Pemerintah juga harus melindungi pasar domestik dari serbuan bahan pangan murah hasil dumping dari luar negeri dan menindak spekulan besar. Artinya pemerintah harus menegakkan kedaulatan pangan,” imbuhnya.

Mekanisme internasional lewat PBB harus memberikan tanggung jawab dan kewajiban negara dan perusahaan multinasional atas penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi petani.

Upaya perlindungan petani negara berkembang bisa dilakukan salah satunya dengan membangun persatuan Negara-negara selatan di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk menentang ketidakadilan global yang dilakukan negara utara dan operasionalnya dijalankan oleh perusahaan tranansional, IMF dan Bank Dunia.

“PBB dan negara-negara juga harus memastikan bahwa hubungan dagang tidak merusak hak atas pangan dari orang hidup di negara lain. Kewajiban untuk melindungi berimplikasi bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melakukan pengaturan terhadap perusahaan dan dunia usaha yang beroperasi di negara lain dalam usaha mencegah kekerasan,” terangnya.

International Fund for Agriculture Development (IFAD) memperkirakan jika persoalan pangan ini tak bisa dipecahkan, pada tahun 2025 mendatang, diperkirakan 1.2 milyar orang di dunia akan mengalami kelaparan. (mkf)


Terkait