Konflik Harus Diselesaikan Secara Rasional, Bukan Melalui Kekerasan
Rabu, 20 Agustus 2003 | 12:30 WIB
Jakarta, NU Online
Abdullah Sarwani SH. Salah satu tokoh NU yang memulai aktivitasnya di PMII Universitas Gajah Mada dan kemudian di GP Ansor, bahkan sempat menjadi kepala Balitbang pada masa kepengurusan Kholid Mawardi (1980-1985) dan juga berperan aktif di LP3ES dan PKBI berhasil diangkat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Lebanon.
Dalam acara syukuran yang dilaksanakan di LP3ES (20/08) ia mengatakan bahwa kondisi di Lebanon hampir sama dengan di Indonesia karena keduanya merupakan negara multi agama sehingga situasi interaksi antar agama mungkin memiliki pola-pola yang hampir sama.
<>Negara itu berpenduduk 3.6 juta dengan sekitar 60 persen penduduknya beragama Islam dan 40 persennya beragama Kristen, bahkan komposisi tersebut masih dapat dipecah lagi dalam berbagai sekte, baik dalam Islam maupun Kristen, seperti Sunni dan Syiah.
Abdullah Syarwani mengatakan bahwa terdapat hal penting yang dapat dijadikan sebagai pelajaran dari Lebanon. “Bagaimana belajar menyelesaikan konflik dengan rasional dan bukan dengan jalan kekerasan sehingga saat ini mereka saat ini bisa hidup dengan damai di tengah suasana pluralitas,” ungkapnya.
Lebanon mengalami konflik antar agama yang luar biasa. Dari tahun 1975 sampai awal 1990-an Lebanon mengalami perang saudara yang mana kekuatan regional, khususnya Israel, Syria, dan PLO –menggunakan negara itu sebagai medan pertempuran selain konflik antar agama Islam dan Kristen.
Konflik yang berkepanjangan tersebut menimbulkan penderitaan bagi rakyatnya dan menimbulkan kesadaran diantara seluruh rakyatnya untuk menyelesaikan konflik dengan melakukan rujuk nasional.
Tumbuhnya kesadaran untuk melakukan rekonsiliasi tersebut didasari alasan bahwa jika mereka terus berperang, maka Lebanon tidak dapat maju karena Lebanon merupakan satu-satunya negara di Timur Tengah yang tidak memiliki sumber minyak dan pendapatan utamanya tergantung pada sektor pariwisata yang membutuhkan tingkat keamanan dan kenyamanan tinggi.
Konflik yang hampir sama saat ini juga sedang terjadi di Indonesia, baik konflik antar etnis maupun antar agama yang ada di berbagai daerah, ataupun kegiatan terorisme yang membuat kondisi keamanan dan kenyamanan warga menjadi terganggu
Berbagai usaha untuk mengatasi mesalah tersebut telah dilakukan seperti perjanjian Malino, ataupun penangkapan berbagai pelaku terorisme. Namun sampai saat ini belum menampakkan hasil yang menggembirakan sehingga keberhasilan Lebanon dalam penyelesaian konflik mereka dapat ditiru.
Secara umum, kondisi Lebanon memang lebih baik daripada Indonesia. GNP mereka mencapai 4,101 USD dan berdasarkan peringkat kualitas kehidupan yang dilakukan oleh World Bank, Lebanon menduduki peringkat 70 sedangkan Indonesia hanya menduduki peringkat ke 112.
Tingkat pendidikan yang lebih baik juga memungkinkan tumbuhnya rasa kebersamaan yang lebih baik untuk kemajuan bersama dan menyelesaikan konflik. Di Lebanon terdapat American University yang dapat dikatakan sebagai Harvardnya Timur Tengah dan Lebanon sendiri juga berperan sebagai mediator negara Arab ke luar.
Abdullah Syarwani yang merupakan sekretaris pertama pesantren Tebu Ireng –setelah itu kemudian Gus Dur- menyatakan bahwa keberangkatannya ke Lebanon untuk memulai tugas barunya akan dilaksanakan pada bulan September 2003.(mkf)