Warta

Kiai Berhak Berpolitik Praktis

Senin, 22 Desember 2008 | 08:26 WIB

Semarang, NU Online
Pengamat politik Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Teguh Yuwono mengatakan, kiai berhak berpolitik praktis karena berpolitik praktis adalah hak setiap warga.

"Berpolitik adalah hak setiap warga negara, baik kiai, ulama, pengusaha, maupun profesi lainnya. Apa pun profesinya, tidak masalah," katanya di Semarang, Ahad (21/12).<>

Pernyataan Teguh tersebut menanggapi pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar yang menyatakan bahwa banyaknya kiai dan ulama yang berpolitik praktis membuat umat terabaikan dan terpecah-pecah.

Ia mengatakan, tidak ada satu pun regulasi yang membatasi warga negara untuk aktif dalam kehidupan politik.

Pernyataan Kepala BIN tersebut hanya imbauan moral agar ulama dan kiai tidak hanya berpolitik tetapi juga harus bisa menjalankan tugasnya sebagai panutan, pembina umat, dan guru.

"Sebetulnya bukan persoalan boleh atau tidak boleh berpolitik praktis, tetapi lebih pada persoalan ulama yang harus bisa menjalankan tugasnya saat menjadi guru dan menjadi politisi," katanya.

Ia menjelaskan, jika ada batasan untuk ulama dan kiai berpolitik praktis dikhawatirkan politik praktis hanya menjadi ladang bagi orang-orang dengan profesi tertentu.

"Saya kira banyak kiai dan ulama yang aktif dalam politik praktis tetapi tetap bisa menjalankan tugasnya," kata Teguh tanpa menyebutkan nama-nama yang dimaksud.

Teguh menambahkan, meskipun kiai dan ulama memiliki hak berpolitik praktis, mereka tidak boleh terbawa arus. Mereka harus bisa memberikan pencerahan bagi yang lain dalam pengambilan keputusan.

Dalam kesempatan terpisah, pengamat politik Undip Semarang Fitriyah berpendapat sama dengan Kepala BIN bahwa kiai dan ulama yang telah mewakili kepentingan kelompok tertentu akan sulit untuk menonjolkan kenegarawanannya.

Menurutnya, dengan masuk ke politik praktis mereka mewakili kepentingan politik tertentu dan masyarakat yang sudah menentukan pilihannya tentu tidak bisa menjadikannya sebagai panutan karena politiknya berseberangan.

Fitriyah menjelaskan, setelah reformasi banyak kiai dan ulama yang sudah berpolitik praktis dan fenomena tersebut terjadi hingga di tingkat bawah. Padahal masyarakat bawah atau pedesaan justru membutuhkan panutan atau tokoh informal yakni kiai dan ulama. "Akibat mereka berpolitik praktis, masyarakat pun kehilangan figur," katanya.

Fitriyah menambahkan, untuk berjuang demi bangsa dan negara kiai dan ulama tidak perlu berpolitik praktis seperti Gus Mus. Namun ia menyayangkan tokoh seperti Gus Mus sangat langka. (ant/nun)


Terkait