Warta

Kiai Ali Yafie Menguraikan Keikhlasan

Senin, 31 Januari 2011 | 05:11 WIB

Jakarta, NU Online
"Saya bangga menjadi santri. Di mana-mana, dalam forum apapun saya memperkenalkan diri sebagai seorang santri."

Demikian dinyatakan KH Ali Yafie di rumahnya, kawasan Bintaro Jakarta Selatan, saat menerima tamu penyair dari Madura, D Zawawi Imron, Sabtu (29/1).&l<>t;br />
"Menjadi santri itu artinya belajar untuk ikhlas dan istiqomah. Saya sejak kecil hidup di pesantren, selama 24 jam saya di pesantren. Di sana saya melihat keikhlasan seorang guru beserta keluarganya. Keikhlasan dalam mendidik, bermasyarakat dan beragama," ujar kiai yang lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 1 September 1926.

Dia menjelaskan, ikhlas itu rumusnya gampang, berkata jujur, tidak mengada-ada. Berbuat juga tidak mengada-ada. "Berbuat juga seperti yang dikatakannya. Antara ilmu dan amal itu harus satu," tegas kiai Ali yang ketika muktamar NU di Krapyak terpilih sebagai wakil rais aam.

Ketika ditanya siapa ulama atau kiai yang patut dijadikan contoh dalam keikhlasan dan keistiqomahan, Kiai ALi Yafie tidak menjawab. Baru setelah pertanyaan diulangi tiga kali, dia menyebut nama.

"Syeikh Ali Matar, kakek Pak Quraisy Shihab. Semasa penjajahan Jepang saya nyantri pada beliau. Pesantennya di Sidrap, Sulawesi Selatan." ujar Kiai Ali yang mengenakan kemeja pendek warna biru.

D Zawawi Imron yang duduk di sebelah Kia Ali Yafie menimpali, "Kalau Kiai Ali kebingungan menunjukkan sosok ulama atau kiai yang ikhlas, itu berarti susah mencari sosok yang ikhlas saat ini. Mendengar tafsiran penyair asal Madura ini, Kiai Ali hanya tersenyum. (nn)


Terkait