Sebuah buku berjudul “Dari Kiai Kampung ke NU Miring” yang membincangkan beragam informasi, berita, renungan dan canda mengenai NU yang ditulis oleh warga NU sendiri menjadi potret NU, tak hanya melihat sisi terangnya, tetapi juga sisi gelap untuk mendewasakan dirinya.
Diskusi mengenai buku ini dibedah kawasan Pancoran Jakarta, Kamis (15/7), menghadirkan KH Salahuddin Wahid, Ahmad Tohari, Yudi Latif dan Idy Muzayyad.<>
Binhad Nurrohmad, penyunting sekaligus penggagas buku ini menjelaskan penulisan buku ini berawal dari posting notes obrolan imajiner di Facebook berjudl “Dari NU Miring ke Muktamar NU”. Bersamaan waktu itu, Acep Zamzam Noor, putra KH Ilyas Rukyat, mantan rais aam PBNU, juga memposting tulisan “Kiai Kampung”.
“Dua tulisan itu merangan kembali gagasan lama saya untuk menampung suara Nahdliyyin generasi terkini mengenai perkembangan dan kondisi NU,” katanya.
Ia berpendapat, selama ini NU nyaris tanpa kritik, apalagi secara terbuka, baik di media masaa maupun dikalangan NU sendiri. Problem NU serupa gunung es dibawah permukaan laut, hanya menjadi kasak-kusuk belaka sehingga menjadi tidak sehat.
Akhirnya, gagasan ini disebarluaskan dan mendapat sambutan yang antusias, dengan melibatkan mereka yang punya pengalaman langsung dengan pesantren, punya latar belakang atau masih aktif di organisasi NU.
Terdapat lima belas tulisan hasil karya lima belas orang dari buku setebal 248 halaman ini yang dibagi dalam kategori “Menonton NU” dan “Mengulas NU”. Judul artikel terkesan ringan seperti “NU Condong versus Condong NU” karya Mujtaba Hamdi, “Memaknai yang Miring” karya Riadi Ngasiran, “Mabuk Kepayang NU” tulisan EM Romly dan lainnya. (mkf)