Denpasar, NU Online
Seorang guru besar Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof Dr Ir Dewa Ngurah Suprapta MSc menilai, tingkat kesejahteraan petani di Indonesia masih sangat memprihatinkan, meskipun sektor pertanian telah menjadi prioritas pembangunan sejak Pelita pertama.
"Masih banyak petani Indonesia tergolong miskin, pendidikan merekapun sekitar 80 persen hanya tamatan sekolah dasar," kata Kepala Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Unud itu, di Denpasar, Selasa.
<>Ia mengatakan, secara relatif terjadi proses pemiskinan petani akibat nilai tukar produk pertanian yang semakin merosot. Tahun 1980-an banyak petani yang mampu menyekolahkan anak-anaknya dari hasil pertanian.
Padahal luas garapan mereka, tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang, yakni menggarap rata-rata 0,3-0,4 hektar per KK, kecuali petani di daerah perkotaan yang mengalami perubahan drastis.
Dewa Suprapta menambahkan, analisa usaha tani yang pernah dilakukan pada akhir 2002 menunjukkan, seorang petani padi sawah dengan luas garapan satu hektar akan memperoleh pendapatan sebesar Rp 909.871 per bulan.
Panen setiap tiga atau empat bulan sekali, itupun dengan catatan semua tenaga kerja dipenuhi oleh tenaga keluarga, dengan harga gabah kering giling Rp 1.195/kg.
Jika semua tenaga kerja diupahkan kepada orang lain, potensi pendapatan hanya sebesar Rp 535.706/bulan. Kalau rata-rata luas garapan petani padi sawah di Bali 0,38 hektar, maka penghasilannya hanya Rp 345.751 per bulan atau sebesar Rp 11.525/hari.
Angka tersebut berada di bawah upah minimum regional (UMR). Gambatan tersebut menunjukkan dari segi ekonomis, usaha petani padi, khususnya di Bali tidak memberikan pendapatan yang memadai.
"Pendapatan yang diperoleh sangat kecil itu, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi membangun rumah dan membiayai sekolah bagi anak-anaknya," ujar Dewa Suprapta.
Oleh sebab itu, sangat wajar jika tidak ada remaja sekarang bercita-cita menjadi petani. Kalaupun jadi petani, barangkali karena kondisi yang sangat terpaksa.
Jika fenomena tersebut berlangsung terus menerus, tanpa ada usaha kongkrit solusi-pemecahannya akan mengancam eksistensi petani dan pertanian, sekaligus ancaman bagi eksistensi masyarakat serta budaya Bali, demikian Dewa Suprapta.(mkf/an)