Yogyakarta, NU Online
Baru-baru ini pemerintah telah menatapkan adanya kenaikan Harga Pokok Pembelian (HPP) untuk gabah dan beras yang berlaku efektif 1 Januari 2009 dalam Inpres No 8 2008 sebagai pengganti Inpres 1/2008.
Kenaikan HPP itu masing-masing sekitar 6-7 persen. HPP-GKP (Gabah Kering Panen ) pada tingkat petani menjadi Rp 2.400/kg, HPP GKG (Gabah Kering Giling di penggilingan Rp 3.000/kg dn HPP-beras di gudang Bulog menjadi Rp 4.600/kg dari HPP sebelumnya sebesar Rp 4300/kg.
<>“Tentu kenaikan ini harus kita syukuri daripada tidak naik, karena kenikan itu sudah lama dinanti banyak pihak jauh hari sebelumnya, tetapi kesyukuran itu tentu tidak menutup adanya beberapa catatan penting,” kata Prof Dr M Maksum, dosen pertanian Universitas Gajah Mada, Jum’at (2/1).
Beberapa kritik yang disampaikan oleh Wakil Ketua PWNU DIY ini adalah kenaikan HPP yang efektif Januari 2009 dan besaran kenaikan angka HPP itu sendiri. Pertanyaanya sudah layakkah angka HPP yang kenaikan reratanya sekitar 6-7 persen itu?.
“Ketika inflasi tehun berjalan sudah dua digit mendekati angka 11 (sebelas) persen, kenaikan HPP hanya 6-7 persen. Padahal begitu HPP baru efektif, kita sudah masuk periode inflationary 2009. Walhasil kenaikan HPP itu sangat tidak memadai sebagai insentif produksi, janji kesejahteraan,” katanya.
Sebelumnya pada Inpres 1/2008 tentang perberasan diundangkan 22 April 2008 sebagai penyesuaian terhadap beragam kenaikan harga yang dipicu oleh inflationary-nya kenaikan harga BBM. Waktu itu kenaikan HPP antara 9-10 persen dibandingkan HPP lama yang digantikannya.
Ia juga menjelaskan, konsepsi kenaikan HP terbaru ini, satu kilogram beras yang harganya Rp 4600/Kg secara teknis memerlukan 1,53kg GKG yang secara teknis pula berimplikasi adanya asumsi-asumsi antara lain (i) randemen perberasan sebesar 65,4% (ii) gratisnya biaya penggilingan dan penanganan (food handling) pada tingkat penggilingan (iii) transportasi yang gratis dari openggilingan ke Bulog, mengingat perangko HPP GKG itu tingkat penggilingan dan HPP beras itu ke gudang Bulog.
Asumsi pertama itu dinilainya musykil dan aneh bin ajaib karena tidak pernah beras berkualitas medium memiliki randemen sebesar 65,4 %. Pada tingkat lapangan hanya sekitar 62-63%, sedangkan pada tingkat uji coba dengan model 4-fase sebagai yang paling efisien, litbang Departemen Pertanian hanya mencatat sekitar 64%. “Kalau HPP kita pakai asumsi 65,4% itu namanya kebohongan public,” tegasnya.
Hal ini akan berimplikasi pada target insentif produksi, kesejahteraan rakyat dan petani dan penanggulangan kemiskinan pedesaaan yang dipastikan tidak efektif. Kedua, rendahnya HPP beras akan membuat tidak efektifnya HPP GKP dan GKG. Ketiga, rendahnya HPP beras sangat rentan terhadap syahwat ekspor maupun impor yang sering berorientasi rente jangka pendek.
“Itulah kado tahun baru yang tidak manis bagi petani yang terakhir ini rentan ekspor-impor. Sungguh sangat membahayakan bagi kedaulatan pangan dan kedaulatan rakyat tani kita,” ujarnya.
Menurutnya, ketika harga global tinggi maka mudah sekali melakukan ekspor karena ekspor mendapat margin besar membeli murah dan menjual dengan harga mahal. Ketika harga global rendah mudah sekali mencari pembenaran impor karena selamanya harga beras akan mudah berada jauh di atas HPP yang terlalu rendah. (mkf)