Kembangkan Kebijakan Gula yang Memberdayakan Petani, Konsumen, dan Dunia Usaha
Kamis, 31 Juli 2003 | 14:44 WIB
Jakarta, NU Online
Direktur Jenderal Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan, Deperindag. Zaenal Arifin mengatakan bahwa permasalahan gula yang timbul di Indonesia selain disebabkan oleh rendahnya produktivitas lahan di dalam negari, juga sangat dipengaruhi oleh rendahnya harga gula internasional.
Hal tersebut terungkap dalam seminar ekonomi Kebijakan Gula Nasional yang Memberdayakan Petani, Konsumen, dan Iklim Usaha yang Sehat yang diselenggarakan oleh lembaga Pertanian NU di Kirana Balroom Hotel Kartika Chandra (31/07)
<>Untuk melindungi petani tebu dan industri gula di dalam negeri, pemerintah telah berupaya membuat kebijakan di bidang tata niaga gula baik menyangkut gula kasar (raw sugar), gula kristal refinasi (refined sugar), maupun gula kristal putih (plantation white sugar).
Upaya kongrit yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pemerintah untuk melaksanakan program akselerasi peningkatan produktivitas tebu 2002-2007 yang diharapkan mampu mengangkat produksi gula nasional sehingga pada tahun 2007 nanti, Indonesia mampu memenuhi kebutuhan gula baik untuk keperluan masyarakat maupn industri pengguna gula.
Sementara itu Menteri Pertanian Bungaran Seragih mengatakan bahwa masyarakat perlu memberikan dukungan pengembangan industri gula dengan kesediaan mereka untuk membayar harga yang relatif lebih mahal dari harga gula impor.
“Naiknya harga di dalam negeri saat ini sebagai akibat diberlakukannya kebijakan tarif bea masuk dan tata niaga impor, Saya kira masih dalam batas kewajaran bila kita memperhitungkan opportunity cost penggunaan lahan untuk tebu dibanding tanaman pangan lain, dan juga wajar bila dibanding dengan harga domestik di negara-negara pengekspor seperti India, Australia, philipina, dan lain-lain yang mencapai diatas Rp4000/kg saat ini,” ungkapnya
Pasar gula yang amat besar itu selama ini belum dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan di negara ini untuk mengembangkan industri dalam negeri yang dapat mensejahterakan kehidupan rakyat. Yang terjadi justru sebaliknya, pasar gula Indonesia dimanfaatkan oleh produsen gula luar negeri untuk melepas kelebihan sisa produksinya (residual market).
Menarik untuk disimak bahwa negara-negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Eropa, India, dan Thailand yang harga gula di pasar domestiknya lebih tinggi dari Indonesia tidak dibanjiri gula impor, bahkan industri gulanya semakin meningkat.
Patut disimak Uni Eropa yang menjadi negara pengekspor gula utama dunia, padahal Uni Eropa memproduksi gula dari beet yang biaya produksinya 70 persen lebih mahal dari gula tebu.
Untuk memenuhi permintaan pasar gula nasional yang tumbuh dengan pasti, pilihannya yang paling sesuai adalah dengan memenuhi permintaan pasar tersebut dengan produksi dalam negari. Industri gula nasional secara empiris telah memiliki potensi ini, hanya saja, masih dibutuhkan bantuan dari otoritas yang berkaitan untuk memberi kesempatan untuk bangkit dari segala permasalahan yang sedang dihadapi.
Bantuan yang dapat diberikan oleh otoritas pemegang kebijakan tersebut adalah dengan berbagai indstrumen kebijakan yang mampu memberikan proteksi terhadap industri gula nasional, seperti yang diberlakukan oleh negara-negara maju produsen gula lainnya di dunia.
Berkaitan dengan masalah globalisasi Ketua Umum APRT PTPN XI H. M Arum Sabil berpendapat. “Dalam menghadapi era AFTA, APEC, dan WTO, Indonesia harus mengembangkan kebijakan yang fair trade, yaitu kebijakan perdagangan yang berkeadilan. Kalau negara lain menerapkan praktek unfair trade, kita tidak perlu malu untuk menerapkan kebijakan anti unfair trade untuk melindungi agribisnis domestik kita.”
Kondisi industri gula nasional Indonesia sedang dalam fase yang kritis. Tekanan dari produsen utama gula dunia yang berusaha menjadikan sebagai residual market, nilai tukar yang sangat fluktuatif dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada industri gula nasional adalah beberapa permasalahan yang dihadapi.
Selain itu industri pengguna gula mengharapkan agar pemerintah mempertimbangkan ketidakserasian tarif produk makanan berbasis gula yang diimpor dengan pemberian tarif spesifik antara lain melalui pengenaan tarif BM yang lebih tinggi pada produk makanan-minuman yang mengandung gula dan/atau penurunan tarif spesifik yang diberlakukan saat ini mengingat impor gula telah ditataniagakan.
Sudah saatnya kebijakan makroekonomi yang bersifat disinsentif terhadap pemberdayaan dan pengembangan industri gula nasional dicabut. Idealnya, reformasi kebijakan pergulaan nasioanl (nasional s