Warta

Kembalikan Pendidikan, Ekonomi dan Dakwah NU ke "Khittahnya"

Selasa, 6 Oktober 2009 | 05:02 WIB

Surabaya, NU Online
Mantan pengurus PCINU Jepang Agus Zainal Arifin mengatakan bahwa pihaknya berharap, dalam Muktamar NU ke-32 mendatang, kepengurusan NU yang akan terbentuk nanti akan bisa lebih fokus untuk "mengembalikan" pendidikan, ekonomi, dan dakwah NU kembali ke "khittahnya" dengan "menjadikan ketiganya sebagai core business NU."

Agus mengingatkan, anggaran pendidikan tahun 2010 diputuskan meningkat Rp 7,6 triliun dari rencana awal senilai Rp 201,9 triliun menjadi Rp 209,5 tr<>iliun dalam APBN 2010.

"Hal ini berarti bidang pendidikan adalah lini bisnis utama pemerintahan kita. Namun lain halnya dengan NU. Hingga saat ini, perhatian utama NU baik sebagai jam'iyyah maupun jama'ahnya tidak menjadikan bidang pendidikan sebagai core businessnya," katanya kepada NU Online di Surabaya, Selasa (6/10).

"Karena itu tidaklah heran, bila jumlah SDM berkualitas di lingkungan NU masih sangat minim. Jumlah sekolah atau madrasah di lingkungan NU, akhir-akhir ini makin sedikit. Banyak diantara mereka membatalkan afiliasinya kepada NU, karena merasa kurang mendapatkan perhatian yang proporsional," tambahnya.

Menurut Pembantu Dekan Fakultas Teknologi Informsi ITS Surabaya itu, NU sudah saatnya berbenah dan tidak mudah terjebak dalam berbagai politik praktis dan kebutuhan-kebutuhan instan seperti pileg, pilpres, pilgub, pilbup, dan lain-lain.

Pihaknya mengingatkan bahwa meski hajatan-hajatan demokrasi tersebut jarang berujung kepada hasil menggembirakan (happy ending), namun dana yang dicurahkan luar biasa besar.

Padahal, lanjut Agus, "biaya yang dikeluarkan untuk kebutuhan yang tidak happy ending itu digunakan untuk pendidikan niscaya, sangat banyak persoalan yang dapat kita selesaikan dalam waktu singkat."

Agus mencontohkan bahwa pembuatan interkoneksi jaringan komputer antar universitas se-Indonesia yang disebut Inherent saja menghabiskan "hanya" Rp 30 M. Padahal dana itu untuk 33 provinsi se-Indonesia, yang berarti tiap provinsi "hanya" butuh Rp 1 M.

"Ini tidak sebanding dengan pengeluaran para calon bupati atau gubernur, di mana tiap orang mengeluarkan dana kampanye jauh lebih besar daripada angka itu. Seandainya, sekali lagi seandainya, hasrat kekuasaan instan itu dapat dikesampingkan sebentar saja, dan digantikan dengan men-support pendidikan, niscaya fadlilahnya akan sangat luar biasa," terang Agus.

Selain itu, Agus juga membeberkan adanya temuan-temuan bahwa bahwa jumlah sekolah yang berafiliasi ke NU, jumlah murid pada setiap sekolah, jumlah guru yang berkualitas, serta jumlah pesantren makin memprihatinkan.

"Meski saat ini jumlah pesantren makin meningkat, namun banyak di antara mereka yang justru berseberangan dengan NU, bahkan berafiliasi dengan para teroris, sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media massa belakangan ini," pungkasnya. (dar)


Terkait