Kebudayaan Indonesia seperti sedang berada dalam pengasingan. Keberadaanya kurang diperhitungkan oleh para pengambil kebijakan baik pada wilayah politik, ekonomi, sosial, maupun intelektual.
Demikian dalam “Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama” yang dirumuskan dalam Muktamar Kebudayaan NU I yang diselenggarakan di Pesantren Kaliopak, Piyungan, Yogyakarata, Senin (1/2) lalu. Kegiatan ini diinisiasi oleh Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim (Lesbumi) NU Yogyakarta.<>
Kebudayaan juga dikatakan terus mengalami pemiskinan, karena telah terjadi kemerosotan, pendangkalan, dan penyempitan baik definisi, bobot, maupun cakupannya dalam kehidupan secara umum.
“Krisis keindonesiaan yang sekarang ini mendera bangsa kita, basisnya adalah krisis kebudayaan ini,” demikian dalam Surat Kebudayaan Nahdlatul Ulama yang disampaikan Ketua Pengurus Wilayah Lesbumi Yogyakarta M. Jadul Maula kepada NU Online, Sabtu (6/2).
Kondisi kebudayaan tersebut tercipta sebagai akibat dari praktik dominasi yang dilakukan oleh tiga kekuatan utama, yakni kekuatan kapitalisme pasar yang menilai kebudayaan dari sudut pandang pragmatisme pasar, kekuatan negara yang menempatkan kebudayaan sebagai lebih sebagai alat legitimasi politik, dan kekuatan formalisme agama yang dalam kadar tertentu mereka justru menempatkan kebudayaan sebagai praktik yang “menyimpang” dari ketentuan hukum yang mereka anut tersebut.
Para Muktamirin dalam Muktamar kebudayaan itu menyatakan tujuh sikap kebudayaan, antara lain, menolak praktik eksploitasi terhadap kebudayaan oleh kekuatan ekonomi pasar yang memandang para pelaku budaya beserta produknya berada di bawah kepentingan mereka.
Muktamirin juga menolak kecenderungan karya seni yang memisahkan diri dari masyarakat dengan berbagai alasan yang dikemukakan, entah berupa keyakinan adanya otonomi yang mutlak dalam dunia seni yang artinya seni terpisah dari masyarakat, maupun universalitas dalam suatu karya seni yang artinya karya seni terbebas dari ikatan relativisme historis suatu masyarakat.
Selain itu Muktamirin ingin merumuskan dan mengembangkan “fiqh kebudayaan” yang mampu menjaga, memelihara, menginspirasi dan memberi orientasi bagi pengembangan kreativitas masyarakat pada wilayah kebudayaan dalam rangka pemenuhan kodratnya sebagai khalifah fil ardl dan sekaligus warga masyarakatnya.
Rangkaian kegiatan Muktamar kebudayaan ini telah berlangsung sejak 23-25 November 2009 lalu dengan agenda Workshop Film Pendek Santri. Ada juga kegiatan peresmian Limasan Kaliopak dan Mujahadah Tahun Baru, Peringatan 9 Hari Gus Dur, Liburan Sastra di Pesantren (LSDP), dan Pameran Seni Rupa Lesbumi.
Kegiatan lainnya adalah Sarasehan dan Seminar bertema “Pesantren, Seni Rupa, dan Dialog Antar-Budaya” yang diselenggarakan pada tanggal 1 Februari 2010 lalu. Sementara Muktamar Kebudayaan Nahdlatul Ulama yang diikuti oleh komunitas-komunitas santri dan komunitas-komunitas seni dari berbagai daerah merupakan bagian pamungkas dari rangkaian kegiatan Lesbumi di Yogyakarta. (nam)