Warta

Kebijakan Subsidi Pupuk Petani Butuh Penyempurnaan

Sabtu, 5 Juni 2004 | 05:52 WIB

Jakarta, NU Online
Kebijakan subsidi pupuk yang ada sekarang ini masih belum dikalkulasi secara menyeluruh. Biaya pengapalan pupuk subsidi dari daerah produksi ke rayon yang menjadi tanggung jawab produsen belum dimasukkan sebagai bagian komponen subsidi.

Penilaian ini disampaikan Anggota Komisi IV DPR/RI Imam Churmen kepada NU Online, Sabtu (5/6). Karena ketidaksempurnaan itu, menurut Churmen, perubahan SK Menperindag No 70/MPP/Kep/2/2003 tentang perubahan rayonisasi tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, menurut Churmen, perubahan itu akan menimbulkan masalah baru.

<>

Seperti diberitakan di berbagai media, Menperindag Rini MS Soewandi pada akhir Mei yang lalu telah menandatangi perubahan  SK No 70/2003. Menurut Rini, isi perubahannya ada dua, pertama, perubahan tentang rayonisasi atau pembagian wilayah pemasaran pupuk bagi masing-masing produsen pupuk. Kedua, mengenai sanksi bagi produsen pupuk yang tidak memenuhi tanggung jawabnya dalam melaksanakan kewajiban memasok pupuk bersubsidi di wilayah kerjanya. Bentuk sanksinya berupa  sanksi hukum tindak pidana subversif ekonomi dan penundaan pengucuran dana subsidi dari pemerintah, jika produsen pupuk terbukti melakukan tindakan melawan hukum, sehingga mengakibatkan tidak tersedianya pupuk di tingkat petani.

Konsekuensi dari perubahan itu, struktur pemasaran pupuk pun mengalami pergeseran, seperti larangan PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) memasok pupuk subsidi di Jawa Timur (Jatiim). Sebelum perubahan SK itu,  Pusri diberi tanggung jawab untuk memasok 200 ribu ton dari total 1 juta ton kebutuhan pupuk urea bagi masyarakat pertanian di seluruh Jatim.

Menurut Churmen, peran PT Pusri yang digantikan secara penuh oleh PT Petro Kimia Gresik dan PT Pupuk Kalimantan Timur (Kaltim) akan menimbulkan masalah. “Permasalahan yang sama juga akan dihadapi petani di Jawa Barat (Jabar) dengan masuknya pupuk bersubsidi merek Pusri,”kata Churmen mengingatkan Deperindag sebagai pembuat kebijakan.

“Para petani di setiap daerah memiliki pengalaman puluhan tahun dalam menggunakan merek pupuk tertentu untuk lahan pertanian mereka. Merek Pusri bagi petani di Jawa Timur sudah melekat dengan pilihan hatinya,disamping merek Petrokimia. Begitu juga dengan merek Kujang bagi petani di Jawa Barat. Penggantian merek akibat perubahan rayonisasi ini tentu akan mengecewakan petani,”kata Churmen memaparkan kepada NU Online tentang hasil temuan dari kunjungan kerjanya ke daerah pertanian Jawa dan Sumatra baru-baru ini.

Lebih lanjut Churmen menambahkan,”Akibat perubahan rayonisasi itu, di Jabar dan Jatim, kami menduga telah terjadi praktik manipulasi antara isi pupuk dan mereknya. Misalnya, agar bisa diterima di Jabar, ada pihak-pihak yang mengganti kemasan pupuk urea Pusri dengan kemasan Kujang, meskipun isinya Pusri. Begitu juga di Jatim yang petaninya sudah menyukai merek Pusri, diduga ada yang menggunakan kemasan pupuk produksi Palembang untuk membungkus pupuk urea produksi PT Pupuk Kaltim,”kata Churmen yang saat ini juga menjabat sebagai ketua lembaga pengembangan pertanian NU. “Supaya tidak mengecewakan petani, sudah saatnya pemerintah menjadikan petani sebagai subyek kebijakan, bukan obyek kebijakan,”tegasnya.  Karena itu dia mengusulkan, sebaiknya pemerintah tidak terlalu mengatur petani. “Seharusnya industri pupuk bicara dengan konsumen pupuk, pemerintah memberikan fasilitas apa yang diperlukan, “usulnya.

Ketika ditanya, apakah semua isi perubahan rayonisasi itu buruk? Churmen menjawab,”Tidak semuanya buruk, ada juga baiknya, seperti tanggung jawab PT Pusri untuk bekerjasama memasok sebagian kebutuhan pupuk masyarakat petani Jabar bersama – sama dengan PT Pupuk Kujang,”jawabnya.

Churmen pun lantas mengupas akar masalah perubahan itu,”Penyebabnya karena keterlambatan pasokan pupuk urea Pusri ke Jatim, kemudian dilakukan revisi SK Menperindag, yang berarti juga larangan bagi PT Pusri memasok kebutuhan pupuk urea subsidi ke Jatim,”katanya.

 Menurut Churmen, keterlambatan itu lebih disebabkan keberatan PT Pusri memasok pupuk subsidi yang harga per kilogramnya Rp 1050,- sama dengan harga pupuk Petro Kimia. “PT Pusri harus memasok dari Palembang ke Jatim, sedangkan PT Petro Kimia langsung dari Jawa Timur. Biaya transportasinya mana? Ini kan tidak
adil,”kata Churmen menegaskan.

Karena itu, kata Churmen, selama biaya transportasi untuk pengiriman pupuk tidak dimasukkan sebagai komponen subsidi, perubahan rayonisasi itu hanya akan menjadi masalah. Karena itu, Churmen menegaskan, seharusnya pemberlakuan sanksi subversif itu dikaji secara menyeluruh terlebih dahulu, termasuk penghitungan ulang terhadap biaya


Terkait