Jakarta, NU Online
Kebangkitan nasional bagikan kebangkitan dari kubur. Banyak hal yang selama ini tak tersadari menjadi terpikirkan. Cita-cita harapan muncul. Niat dan azam beramal dikokohkan. Meskipun tentu ada saja yang tergagap-gagap dan berkata: “man ba’atsana min marqodinaa hadzaa “Siapa yang membangunkan tidur kita ini”
Demikianlah penggalan pernyataan KH Mustofa Bisri atau biasa dipanggil Gus Mus dalam peringatan hari kebangkitan nasional di kantor pusat GP Ansor (02/06). Undangan kepada Gus Mus merupakan satu upaya untuk mencari hikmah dari hari kebangkitan nasional yang saat ini perlu diperkuat lagi Dalam sambutannya Ketua Umum Ansor H Saifullah Yusuf mengatakan peringatan ini baru bisa dilaksanakan karena kesibukan Gus Mus.
<>Hadir dalam acara tersebut budayawan Taufik Ismail yang membacakan puisi-puisi dengan tema kebangkitan bangsa dan satu puisi menggelitik tentang rokok yang pada hari itu bertepatan dengan hari anti tembakau sedunia. Juga memberikan orasi tokoh pers nasional Jacob Oetomo.
Gus Mus mengatakan bahwa para ulama pendiri NU sengaja memilih kata nahdlah bukan nuhuuld, karena para ulama itu mengharapkan “kebangkitan yang serantak sekali saja”, bukan kebangkitan yang seperti nglilir sebentar kemudian tidur lagi.
Yang terpenting kini bagaimana kita bangkit kembali seperti kebangkitan tempo doeloe, kebangkitan serempak. Semua komponen bangsa melupakan (dulu) kepentingan-kepentingan sesaat kelompok sendiri. Menyatukan pandang ke arah Indonesia dan kepentingan Indonesia.
“Silahkan berfikir dan bergerak, bergiat membangun dan memperkuat kelompok masing-masing, namun hendaklah semua itu ditujukan bagi membangun kembali dan memperkokoh bangunan rumah kita bersama ini: Indonesia” ungkap Gus Mus. Kesuksesan dan kejayaan suatu kelompok di lingkup satu rumah tak ada artinya jika rumah itu sendiri bobrok.
Untuk mendukung kesan kebangkitan nasional tersebut Gus Mus juga membacakan puisi dengan judul “Aku Masih Sangat Hafal Nyanyian Itu”
Aku masih sangat hafal nyanyian itu. Nyanyian kesayangan dan hafalan kita bersama
Sejak kita di sekolah rakyat. Kita berebut lebih dulu menyanyikannya…
Demikianlah Gus Mus mengenang masa kecilnya ketika menyanyikan lagu kebangsaan yang menggugah rasa persatuan sebagai satu bangsa. Persatuan yang tumbuh setelah adanya kebangkitan nasional. Rasa persatuan yang saat ini mulai terkoyak.
Sudah lama sekali. Pergaulan sudah tidak seakrab dulu. Masing-masing sudah terserat kepentingan sendiri…
Sayang dimanakah kini kau. Mungkinkan kita bisa menyanyi bersama lagi. Lagu kesayangan kita itu.Dengan akrab seperti dulu?
Demikianlah ungkapan kerinduan Gus Mus pada kejayaan negeri ini. (mkf)