Kutai, NU ONLINE, Kongres ke-14 Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) mulai memanas. Korp PMII Putri (Kopri) yang pada Kongres ke-13 PMII di Medan tahun 2002 dilikuidasi, kini mulai menggeliat. Keberadaan perempuan di PMII merasa termarginalkan dengan keputusan peleburan.
Mereka mengancam akan memboikot kongres jika PMII mengabaikan peran perempuan di PMII.“Janganlah Forum Kongres ini dijadikan wahana pembodohan bagi perempuan. Perempuan di PMII jumlahnya lebih dari 50 persen, maka kader perempuan di PMII tidak boleh diabaikan,” ujar Lulu, mantan ketua umum PB KOPRI kepada NU Online.
<>Selanjutnya Lulu mengungkapkan, evaluasi keputusan Kongres PMII di Medan selama dua tahun ternyata semakin menenggelamkan kader perempuan PMII. “Kader perempuan PMII butuh institusi untuk membentuk jaringan dan penguatan
kader. Oleh karena itu, lembaga perempuan secara struktural adalah suatu kebutuhan,” tambahnya.
Ditegaskan Lulu, ketika nasib perempuan diserahkan kaum laki-laku terbukti nasib perempuan tidak ada yang memikirkan. Kalau hal itu dibiarkan, lanjut Lulu, maka kader permpuan PMII tidak akan berbuat apa-apa. Ditambahkan Lulu, adanya lembaga perempuan tersendiri di struktur PMII bukan berarti adanya dikotomi antara perempuan dan laki-laku. Keberadaan KOPRI dulu, sebetulnya tidak menghalangi kaum perempuan untuk menjadi ketua umum PB PMII. “Keberadan KOPRI menghalangi kader perempuan menjadi pemimpin adalah pemahaman yang keliru,” tandas Lulu.
Menurut Lulu, untuk merubah pemahaman yang salah, perlu ada revolusi besar-besaran dalam setiap pengkaderan di PMII. Selama bertahun-tahun, tambah Lulu, PMII telah
melakukan kesalahan strukrual dan kultural setiap pengkaderan.
Hal senada dikatakan Ketua PB PMII perempuan Umi Wahyuni. Satu-satunya perempuan di PB PMII ini, menuturkan ketimpangan gender di PMII tercermin dari ketidakjelasan kebijakan PMII terhadap kader perempuan.
Menurut Umi, hal itu disebabkan PMII secara idealis tidak membedakan kader laki-laki dan kader perempuan. “Tetapi ditingkat realitas menunjukan perbedaan peran kader laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain kader perempuan tidak memiliki landasan konstitusi yang jelas dalam memperjuangkan aspirasi perempuan,” papar Umi.
Oleh karena itu, sambung Umi, wadah tersendiri untuk memperjuangkan aspirasi kaum perempuan mutlak harus ada dalam struktur PMII. Wadah tersebut tidak sepenuhnya dihuni oleh perempuan semata, tapi harus ada juga laki-lakinya yang memiliki pemahaman sama. “Jadi urusan perempuan harus juga melibatkan laki-laki,” ujarnya.
Berdasarkan pengamatan NU.Online, wacana lembaga perempuan di PMII terbagi dua. Sebagian pro peleburan dan sebagian lagi menginginkan menghidupkan kembali KOPRI.
Perdebatan dari para kader perempuan sangat alot dan hangat.Hal itu, tampak dalam pembahasan tata tertib kongres pada pasal 7 tentang pembagian komisi-komisi. Pada pasal 7 ayat 3.3 yang berbunyi Komisi C membahas paradigma pengkaderan PMII masa depan. Sementara pasal 7 ayat 3.6. membahas khusus sistem pengkaderan kader perempuan.
Selain itu, dalam draf perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PMII pada Bab IV terdapat nama KOPRI. Argumennya, peleburan KOPRI justu membuat kader perempuan PMII tenggelam oleh dominasi laki-laki.(cih)