Industrialisasi di Indonesia yang digembar-gemborkan oleh pemerintah masih berbasis pada impor. Sebut saja industri otomotif, elektronika, atau informatika. Semuanya mengandalkan teknologi tinggi (HTI), skil tinggi (SLI), dan modal besar (CII) yang berujung pada satu kata, impor.
Demikian disampaikan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Mohammad Maksum dalam 'Diskusi Kamisan NU Online' bertajuk 'Khittah Ekonomi NU', di ruang redaksi NU Online, lantai 5 kantor PBNU, Jakarta, Kamis (22/7) sore.<>
Supaya industri dengan tipikal di atas tetap berjalan maka harga dolar atas rupiah dimurah-murahkan. Penurunan nilai dolar terhadap rupiah ini memerlukan stimulus yang luar biasa besar. Padahal hanya menguntungkan sedikit kalangan industrial saja.
Lalu, pajak barang impor juga dikecilkan sejadi-jadinya, bahkan sampai titik nol. Harga barang impor menjadi murah sekali dibandingkan produk dalam negeri.
“Moneter, fiskal, dan perdagangan semuanya diarahkan untuk membesarkakn industri berbasis impor ini, tapi nyatanya tak kunjung besar. Bagaikan menimang-nimang bayi dengan harapan akan dilepas ketika besar, tapi bayi itu tak kunjung besar dan malah menjadi manja,” kata Maksum.
Pertumbuhan neraca besar sekali tapi pada saat yang bersamaa pertumbuhan utang luar negeri juga tidak ketulungan.
Rentetan lain dari industri berbasis impor adalah memurahkan Upah Minimal Regional (UMR). Pemerintah Indonesia dipaksa menekan UMR agar produksi berbasis impor itu terus berjalan. Selanjutnya harga pangan harus murah untuk menyesuaikan UMR yang rendah itu.
“Kalau pangan tidak murah, kalangan industri protes. Inilah sebab terpuruknya sektor pertanian. Tapi anehnya ini selalu dibolak-balik: harga murah dikatakan untuk petani juga karena petani juga sebagai konsumen,” kata Maksum.
Ditegaskan Guru Beasr Pertanian UGM itu, pembenahan ekonomi Indonesia harus dimulai dengan mengubah paradigma impor tadi. “Tapi apa ada wakil rakyat kita yang mau. Kalau membela ekonomi rakyat kan tidak ada yang menyuap,” katanya. (nam)