Warta

Indonesia Menghadapi Rawan Pangan

Jumat, 6 Juni 2003 | 15:41 WIB

Jakarta, NU Online
Pada waktu ini, Indonesia berada dalam keadaan “rawan pangan” bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat sudah sangat tergantung dari luar negeri, dan ketergantungan itu memiliki kecenderungan semakin membesar.

Pernyataan demikian diungkapkan oleh Ketua Umum Himpunan kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudohusodo dalam seminar Perum Bulog “Prospek Perum Bulog Sebagai Penyangga Ketahanan Pangan dan Pelaku Bisnis yang Berdaya Saing” yang diadakan oleh Pengurus Pusat Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama PP LPNU) di Hotel Le Meridien Jakarta (5/06/).

<>

Pada tahun 1984 Indonesia telah berhasil melakukan swasembada pangan tetapi pada tahun 1990 kebutuhan impor beras telah mencapai 2 persen dan saat ini sudah mencapai 9 persen. Jika tidak ada usaha serius untuk menangani hal ini, Indonesia akan mengalami masalah pangan yang serius.

Kemampuan Indonesia di bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar. Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negeri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian dalam bidang pangan.

Saat ini kebijakan harga beras murah merupakan kebijakan bunuh diri. Harga beras yang murah membuat para petani segan untuk menanam padi. Selain itu para petani juga harus diberi kesempatan untuk berpindah ke profesi lain sehingga yang benar-benar menjadi petani merupakan petani professional.

Stok beras yang berlebihan dan sulit dikontrol yang berasal dari impor dan penyelundupan juga menjadi salah satu penyebab sulitnya mengangkat harga beras dalam negeri saat ini, walaupun pemerintah telah menetapkan tarif impor beras sebesar Rp 430 per Kg atau setara dengan 30 persen sejak 2000.

Petani yang sampai saat ini menjadi golongan yang miskin juga disebabkan oleh kecilnya rata-rata penguasaan lahan mereka. Hal ini disebabkan penggunaan non pertanian dan sistem waris. Selain itu infrastruktur untuk mendukung produksi pertanian sangat buruk. Di wilayah pantura infrastruktur yang rusak mencapai 40 persen.

Jumlah penduduk miskin tahun 2002 di pedesaan mencapai 25,1 juta. Peningkatan produktivitas dan efisiensi pada usaha tani padi akan berpengaruh positif terhadap pendapatan mereka, memperbaiki distribusi pendapatan dan berpengaruh positif terhadap pengurangan ketergantungan dari beras impor serta berlanjutnya pengurangan penduduk miskin di pedesaan.

Sebagai perum, fungsi Bulog ke depan terutama harus diarahkan dalam tiga hal, yaitu Mensejahterakan petani, Meningkatkan produksi pangan, dan Mengurangi pemakaian makanan yang tidak bisa diproduksi sendiri.

Peran Bulog saat ini hanya mencakup 9 persen dari pasar beras sedangkan sisanya ditentukan oleh petani dan importir. Diharapkan kedepan peran ini dapat meningkat menjadi 20 persen.

Saat ini kecenderungan pangan ke arah hal yang bersifat instan, yang berasal dari tepung, oleh karena itu harus diusahakan agar produk pangan juga dari tepung, tapi yang berasal dari bahan baku local yang dapat ditanam sendiri seperti tepung tapioka atau sagu yang memang bisa diproduksia sendiri.

Perubahan bentuk badan hukum dari LPDN menjadi perum Bulog harus membawa perbaikan. Selama ini Bulog selalu dikaitkan dengan berbagai skandal. Bulog ke dapan harus lebih, baik, lebih transparan, dan harus mencapai tujuannya yaitu mensejahterakan petani dan menjaga ketahanan pangan nasional. (mkf)

 


Terkait