Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menyatakan demokrasi yang berjalan di Indonesia biarkanlah menemukan bentuknya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tahapan perkembangan masyarakatnya.
Hal ini dikatakan saat menemui Direktur World Movement for Democracy (WMD) Art Kaufman di gedung PBNU, Kamis (12/2).<>
“Demokrasi yang dikaitkan dengan konteks nasional kita sangat diperlukan, bagaimana diaplikasikan untuk Indonesia, harus dengan kearifan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” katanya.
Ditegaskannya, bagi rakyat Indonesia, demokrasi adalah alat, bukan tujuan yang harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebebasan, efektifitas, efisiensi dan produktifitas. “Kita tidak hidup untuk demokrasi, tetapi demokrasi untuk kehidupan,” tambahnya.
Sebuah demokasi yang baik harus memberikan kehidupan ekonomi, pendidikan, kesehatan dan perlindungan hukum yang lebih baik pada pada orang-orang yang posisi ekonomi dan pendidikan yang rendah.
“Masyarakat tidak bisa menunggu perutnya lapar dan itu tidak cukup diselesaikan dengan demokrasi,” terangnya.
Dalam 63 tahun kemerdekaannya, Indonesia sudah mencoba berbagai macam model demokrasi. Tahun 1945-1959, Indonesia mencoba sistem liberal, tahun 1959-1966 Indonesia menggunakan sistem demokrasi terpimpin dengan warna ravolusi. Tahun 1967-1998 Indonesia menganut demokrasi Pancasila yang menggunakan pendekatan stabilitas. Kini, dalam era reformasi, sistem liberal kembali digunakan.
Kali inipun, berbagai persoalan bangsa masih menghadang perjalanan demokrasi ini. “Banyaknya partai menyebabkan tak ada partai yang kuat sehingga tak ada konsepsi nasional yang sama. Partai banyak juga menyebabkan tak ada standarisasi sehingga politisi juga tidak ada standarnya. kabinet terpaksa koalisi, betapa sulitnya,” imbuhnya.
Kebebasan yang diberikan kepada masyarakat sebagai konsekuensi demokrasi juga menimbulkan masalah karena hilangnya stabilitas yang ada dalam negara.
“Hilangnya efisiensi dan efektifitas menyebabkan ekonomi terus memburuk, dan terjadi individualisme di Indonesia yang sangat parah. Sekarang di dalam partai sendiri mereka bersaing karena mencari suara terbanyak. Ini juga mengakibatkan kontrol partai menurun dan kalau legislatif dipenuhi kepentingan peorerangan, akan sulit menemukan konsepsi nasional,” terangnya.
Kebebasan mendirikan partai mengakibatkan masyarakat selalu berfikir kekuasaan sehingga menurunkan produktifitas dalam bidang ekonomi. “Hal-hal yang seperti itu harus dicarikan jalan keluar, dengan menurunnya tingkat ekonomi maka menurun pula ketahanan nasional kita terhadap negara lain,” katanya.
Oleh karenanya rakyat Indonesia harus mengembangkan maratabatnya sendiri. “Kita sangat memerlukan demokrasi, tapi demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Saya kira itulah gambaran Indonesia,” paparnya.
PBNU saat ini sedang menggali masukan-masukan untuk membuat konsep pengelolaan negara yang lebih baik. Menurutnya, hal ini tidak bisa dilakukan oleh partai politik yang sarat kepentingan, sementara NU bisa memayungi dan mengayomi banyak partai karena banyak kader NU yang menjadi pimpinan di sejumlah partai besar.
“NU bisa mengundang mereka untuk duduk satu meja. Disitu akan kita carikan rumusan bersama. Kita harus bisa mengakui kesalahan-kesalahan yang dibuat dalam berdemokrasi,” katanya.
Proses dan pergulatan untuk menemukan yang paling pas ini akan terus berlanjut dan seringkali memerlukan waktu yang lama agar bisa benar-benar pas. “Amerika setelah 100 tahun baru benar-benar stabil,” tandasnya. (mkf)