Warta

Indonesia Bersyukur punya NU dan Muhammadiyah

Selasa, 1 September 2009 | 03:24 WIB

Semarang, NU Online
Indonesia sangat bersyukur pernah memiliki tokoh-tokoh agama Islam, pendiri Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah terdahulu, yang begitu demokratis menyetujui berdirinya Republik Indonesia berdasarkan Bhinneka Tunggal Ika. Islam yang berkembang adalah Islam yang penuh kemanusiaan, keadilan, dan kebersamaan menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Hal itu disampaikan Pendeta Gunarto dari Sekolah Tinggi Theologi Abdiel Ungaran, Senin (31/8), pada diskusi buku Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya (Lakpesdam) NU Jawa Tengah, Sinode GKMI, GIA Pringgading, dan Muria Institute di Kantor PWNU Jawa Tengah di Semarang.<>

Menurut Gunarto, sebagaimana dilansir kompas.com, praktik-praktik yang muncul belakangan ini, terkait dengan munculnya gerakan transnasional, merupakan hasil korespondensi dengan negara-negara Islam. Mereka memahami zaman keemasan Islam kemudian dicoba menurut pemahaman mereka sendiri, untuk diterapkan di Indonesia sesuai dengan prasangka.

Faktor eksternal munculnya gerakan transnasional itu digunakan untuk melawan keberhasilan dunia Barat, anti-materialisme Barat, dan menutup kecongkakan Barat. Adapun pada faktor internal, mereka melihat gerakan Islam kurang berkembang karena organisasi besar, seperti NU dan Muhammadiyah, dinilai lamban dalam mengembangkan Islam modern.

Rektor IAIN Walisongo Semarang Prof Dr Abdul Djamil menyatakan, gerakan Islam transnasional itu sudah berkembang sejak zaman dulu, 14 abad yang lalu. Malah, ketika Indonesia masih dijajah Belanda, gerakan transnasional atau Pan Islamisme juga dikembangkan oleh peneliti Muslim Belanda, Snouck Hurgronje. Saat itu, sudah ada kecurigaan terhadap aksi Snouck.

Kalau saat ini aksi akhir-akhir ini seperti mengarah pada pendirian syariah Islam dengan gerakan Pan Islamisme, itu tentunya bukan hal baru. Di samping sudah berkembang sejak masa keemasan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, sekarang ini masa itu coba dibangkitkan dengan metode yang berbeda.

Kondisi ini, menurut Abdul Djamil, salah satu konsekuensi dari era reformasi yang membuka keran besar bagi masyarakat untuk bepergian ke luar negeri. Mereka juga banyak yang belajar di negara-negara Timur Tengah dan kawasan Asia Barat. Apabila, di antara mereka ada yang terlibat jaringan kelompok Pan Islamisme, bukan tidak mungkin kemudian mereka coba mempraktikannya di Indonesia.

"Pertanyaan penting saat ini adalah bagaimana kita memahami persoalan itu dengan tetap menjaga Indonesia dalam konteks kekinian. Upaya ini bukannya mandek, tapi akan terus berlangsung. Mereka juga berpikir menggunakan peruntungan pula, siapa tahu tawaran ideologi itu memberikan hasil meski itu sulit," ujar Abdul Djamil. (mad)


Terkait