Iklan sekolah gratis yang dalam beberapa bulan terakhir menghiasi berbagai media massa di Tanah Air merupakan bentuk penipuan terhadap masyarakat. Iklan tersebut sangat menyesatkan. Pasalnya hal itu tidak sesuai dengan realita di lapangan, karena biaya pendidikan masih mahal dan masih belum terjadi pemerataan akses sekolah.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari halaqoh nasional sesi satu reorientasi pendidikan perspektif pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU) di Pesantren Darul Muttaqien, Kecamatan Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Ahad (10/5).<>
Kegiatan halaqoh digagas bersama oleh Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Pesantren Darul Muttaqien dalam rangka refleksi Hardiknas 2009.
Pada sesi pertama, Pengasuh Pesantren Tebuireng Jatim KH Salahuddin Wahid tampil sebagai keynote speaker. Pria yang akrab disapa Gus Sholah ini didampingi empat pemateri, yakni Pengasuh Pesantren Darul Muttaqien KH Mad Rodja Sukarta dan Guru Besar IPB Prof Dr. Cecep Kusmana MS.
Dua pemateri lainnya adalah representasi tokoh muda NU yaitu Ketua Tanfidziyyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU Kota Bogor Dr Aji Hermawan MM, dan Direktur Pesantren Daarul Rahman Jakarta KH Faiz Syukron Makmun, Lc, MA. Halaqoh ini dipandu oleh mantan Ketua KMNU IPB Ahmad Fahir.
Pada kesempatan tersebut, Gus Sholah mengemukakan, kampanye sekolah gratis yang gencar dilakukan pemerintah sangat memalukan. Bahkan menurutnya, kebijakan anggaran 20% pada sektir pendidikan yang dilakukan pemerintah belum benar.
“Anggaran 20% pendidikan tidak benar, karena dalam UUD anggaran tersebut harus di luar gaji guru dan tenaga kependidikan,” papar mantan Wakil Ketua Komnas HAM ini.
Lebih lanjut Gus Sholah memaparkan, seraya mengutip laporan keberatan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dimuat salah satu media surat kabar nasional, bahwa dari 20% anggaran pendidikan yang terealisasi untuk pengembangan sarana dan mutu baru 7%.
“Dari Rp 207, 8 triliun APBN, anggaran pendidikan untuk semua jenjang di semua daerah hanya sebesar 60 triliun-65 triliun atau hanya sekitar 7% APBN. Dana yang minim itu masih terus menyuzut sehubungan dengan praktik korupsi di tubuh Depdiknas.”
KH Mad Rodja Sukarta lebih menyoroti pada output pendidikan nasional yang carut marut. Pasalnya jebolan sekolah formal umumnya terjebak di formalitas sehingga bermental kuli.
“Pesantren jangan terjebak di formalitas. Panca jiwa pondok yang mengajarkan keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah islamiyyah dan berpikiran bebas harus menginspirasi santri dalam berkarya di tengah umat,” papar penulis buku “Catatan untuk Para Pejuang (Pendidikan)” ini.
Prof Dr Cecep Kusmana menambahkan, rendahnya output pendidikan antara lain karena faktor pengajar. “Pengajar yang kurang kapabel akan membuat mutu pendidikan menjadi rendah.” (hir)