Ichsanuddin Noorsi: Struktur Makro Ekonomi Indonesia Masih Rapuh
Kamis, 10 Juni 2004 | 07:46 WIB
Jakarta, NU Online
Jangan terburu-buru menilai bahwa fundamental ekonomi Indonesia telah menunjukkan penguatan, meskipun sebagian pengamat ekonomi pernah mengatakan itu pada tri wulan pertama 2004. Sebab kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari level 625,55 pada akhir Oktober 2003 menjadi 735,68 pada akhir Maret 2004, hanya mampu mencapai titik tertinggi ke level 818,16. Nyatanya level tersebut merupakan posisi puncak. Terhitung sejak 27 April bulan lalu, IHSG terus melorot. Begitu juga pada sesi penutupan transaksi pagi ini, IHSG terkoreksi lagi menuju level 705,364.
Kerapuhan itu semakin nyata dengan merosotnya nilai tukar rupiah atas dollar AS dari Rp 8500,- pada pertengahan Maret menjadi Rp 9390,-/dollar AS pada siang hari ini, Kamis (10/6).
<>Pengamat Pasar Modal Goei Siaw Hong menyebut besarnya resiko dari ketidakpastian yang sedang dialami Indonesia sebagai penyebab merosotnya IHSG dan rupiah. “Pasar masih bertanya-tanya tentang figur calon presiden yang akan terpilih, juga pertanyaan soal agenda ekonomi yang akan diusung calon presiden terpilih nanti. Jangan kaget kalau kondisi ini bisa sampai bulan September,” kata Siaw Hong.
Siaw Hong menambahkan, “Jadi kalau pasar menilai calon presiden terpilih mengakomodasi kepentingan mereka, maka IHSG dan rupiah dengan sendirinya akan mengalami penguatan,” kata pengamat ekonomi yang juga direktur konsultan manajemen dan keuangan GSH Consulting ini.
Karena sikap pasar bisa berlaku sebaliknya, maka muncul pertanyaan, bagaimana jika calon presiden yang terpilih memiliki integritas moral dan kepedulian terhadap persoalan kerakyatan, apakah pasar yang mengusung kepentingan orang kaya (baca: pemilik modal) tetap akan bersikukuh dengan melakukan koreksi terhadap IHSG dan rupiah?
Menanggapi pertanyaan tersebut, Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsi mengatakan,”Kalau ketidakpastian domestik dianggap sebagai biang kejatuhan rupiah dan IHSG berarti penguatan ekonomi yang dikatakan pemerintah selama ini sebenarnya rapuh,” kata Noorsi kepada NU Online, Kamis (10/6). Menurut Noorsi, kalau struktur makro kuat, seharusnya perilaku pasar yang negatif itu sudah bisa diantisipasi dengan baik.
Noorsi yang juga komisaris independen Bank Permata ini mengingatkan, penempatan faktor domestik sebagai biang keterpurukan IHSG dan rupiah sama dengan mengakui bahwa pihak luarlah yang sebenarnya berperan memperkuat IHSG. “Jadi selama ini pemerintah hanya bisa mengklaim hasil kerja pihak luar dalam menstabilkan kondisi ekonomi makro kita,” ujar Noorsi.
“Karena kondisi sebenarnya rapuh, begitu belum dapat kepastian siapa calon presiden yang memihak kepentingan mereka, maka para pemilik modal asing yang mendominasi transaksi di pasar saham melepaskan saham-saham koleksinya. Akibatnya IHSG terpuruk,” kata Noorsi sambil mengingatkan inflasi yang diakibatkan anjloknya nilai tukar rupiah sangat merugikan masyarakat kecil.
Pengamat ekonomi yang juga anggota Indonesia Bangkit ini menyarankan, agar pasar modal tidak dipermainkan, maka kita jangan menjadi alat dari kepentingan asing. Karena itu Noorsi menyebut pentingnya bagi pemegang kebijakan untuk membuat regulasi, supaya pasar modal tidak dipermainkan pihak asing.
“Jadi pendekatannya tidak semata-mata ekonomi, tetapi melibatkan penegakan hukum, keamanan dan komitmen berbangsa,”kata Noorsi menandaskan.
“Kalau persoalan ekonomi hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi, kita hanya akan menjadi bulan-bulanan kepentingan asing. Jadi jangan kaget, kalau ada presiden yang punya integritas moral baik, dan berpihak pada kepentingan rakyat harus direspon buruk perkembangan pasar,” kata Noorsi memaparkan.
Noorsi juga menandaskan,”Berbeda kalau penyelesaiannya dengan melibatkan pendekatan politik. Pihak asing tidak bisa dengan mudah mempermainkan pasar modal,”kata Noorsi seraya menjelaskan penolakannya atas sistem double coupling dalam paham ekonomi neoliberal yang memisahkan secara ekstrim politik dari
ekonomi.(Dul)