Warta

Hasyim Muzadi: “Shock Therapy, Koruptor Didor Saja”

Sabtu, 24 Januari 2004 | 00:20 WIB

Yogya, NU Online
Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi makin bersemangat dalam memberantas korupsi. Ketika berbicara dalam talkshow Merintis Pegawai Negeri yang Bebas Suap di Hotel Sheraton Mustika jalan Laksda Adi Sucipto, Jogja kemarin malam, pengasuh ponpes Al Hikam Malang ini menegaskan harus ada shock therapy terhadap koruptor. Shock therapy yang ia usulkan cukup mengejutkan buat publik, yakni harus ada sejumlah koruptor yang ditembak mati.

Keadaan korupsi kita sudah mengakar. Tak bisa diatasi hanya dengan gerakan konvensional. Harus ada shock therapy. Jika ada 10 atau 20 koruptor ditembak di muka umum, pastilah akan terlihat hasilnya. Kalau Cuma didiskusikan saja ya tidak akan ada perubahan, tegas Hasyim dalam acara yang digelar Partnership for Governance Reform ini.

<>

Apakah Hasyim benar-benar setuju hukuman mati bagi koruptor? Usai talkshow, kepada wartawan, Hasyim menegaskan bahwa diperlukan ketegasan pelaksanaan undang-undang atau hukum di negeri ini. Jika sampai pada tingkat tertentu bahwa koruptor mesti dihukum mati ya mesti dilaksanakan. Segera eksekusi koruptor itu, jangan muter-muter tak karuan, jelasnya.

Dia menggambarkan, keadaan yang seperti itu telah membuat situasi pemberantasan korupsi makin tidak jelas. Para koruptor pun makin pintar menyiasati hukum. Mereka bisa menggunakan uang hasil korupsinya untuk mencari jalan guna meloloskan diri dari jeratan hukum. “Mestinya  kan tegas. Kalau memang harus dihukum mati, ya dieksekusi,” tandasnya.Menurut orang nomor satu di tubuh NU ini, hanya ada dua pilihan menghadapi korupsi yang telah membudaya ini. Pertama, bersungguh-sungguh memberantas secara komprehensif atau kedua tenggelam ke dalamnya.

Kita tentu tidak mau pilihan keduanya khan. Kita harus memberantas korupsi. Tidak ada kata terlambat untuk itu. Pemberantasan harus dilakukan mulai dari dimensi moral, budaya, politik hingga kekuasaan, kata Hasyim yang berbicara bersama ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Syafii Maarif, HS Dillon dan Sri Sultan Hamengku Buwono X ini.

Pria kelahiran Tuban ini kembali mengingatkan agar budaya masyarakat mulai berubah. Masyarakat harus kritis, tidak bisa lagi melihat koruptor yang haji atau umroh hingga dua sampai tiga kali lalu masuk pesantren lalu dipandang sudah seperti dermawan yang lillahi taala. Begitu juga dari dimensi lainnya. Jangan sampai pemberantas korupsi malah takut pada koruptor, sedangkan koruptornya tidak ada rasa takut sama sekali pada pemberantas korupsi.

Betul, ada pejabat pemberantas korupsi yang minta doa selamat karena tiga pejabat sebelumnya meninggal dengan cara yang beda-beda. Ini kan aneh, yang ketakutan malah si pemberantas koruptornya, ini khan nggak bener, ungkap Hasyim disambut gerr oleh peserta.

Hasyim manambahkan agar media lebih berkomitmen untuk membantu pemberantasan korupsi ini. Media jangan hanya tertarik untuk mengekspose pencuri sepeda, pencuri ayam di kampung tapi sama sekali tidak tertarik mengekspos pembobol bank. Ia menceritakan, acara-acara di televisi yang menayangkan penggerebekan pencuri ayam dan mempertontonkan pada umum tapi sama sekali tidak mempertontonkan wajah pembobol bank.

Sementara itu, ditempat yang sama, Syafii Maarif menyoroti masalah korupsi ini dari sisi lain. Menurutnya, korupsi bukanlah budaya. Sebab, kalau sudah menjadi budaya tentu tidak terdapat perlawanan.Korupsi bukan budaya bangsa kita. Ini hanya budaya sebagian kecil orang yang haus akan kekuasaan dan duniawi. Yang korupsi itu tidak sampai satu juta orang tapi memang  menduduki posisi penting, katanya.

Dia juga menceritakan kondisi korupsi yang merajalela di kalangan dewan. Ia menggambarkan negeri ini bagaikan negeri yang tak putus dirundung malang. Bagaimana tidak, di tengah meruyaknya korupsi itu, menurut data, ternyata hanya ada 5 persen rakyat ini yang peduli dengan pemberantasan korupsi maupun dengan masalah demokrasi.

Sebagian besar acuh tak acuh. Mereka hanya memikirkan sembako, lapangan kerja dan sejenisnya. Akibatnya, mereka menjadi rindu dengan rezim lama. Mereka tidak melihat rezim lamalah yang menyebabkan ini semua, tambahnya. Dalam konteks itulah, pemilu mendatang merupakan pemilu berwajah buram. Bisa jadi, rakyat akan memilih mereka yang bisa memperbaiki kondisi sembako mereka, yang bisa menyediakan lapangan kerja tanpa melihat mereka itu pencoleng atau koruptor. Rakyat kita terjangkit amnesia. Mudah lupa, kata guru besar Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini. (mar)


Terkait